September 11, 2007

ERROR...

Dalam perjalanan denpasar-surabaya, saya bertemu dengan seorang dokter yang cukup dikenal. Dari beberapa obrolan akhirnya saya tahu, bahwa dokter ini juga adalah pengajar statistik di fakultas kedokteran sebuah universitas ternama. Akhirnya, obrolan berlanjut pada ilmu statistik.


Ada hal yang "cukup menarik" dan membuat saya agak bingung, yaitu pada saat si-dokter menceritakan tentang beberapa penelitian. Sebuah kasus, tiba-tiba dianalisis dengan model linear. Waktu saya bertanya, apakah hubungan antar variabelnya linear ? Dia menjawab, tidak tahu, kan statistik seperti itu, yang korelasinya sudah lebih dari 80% dan total keragamannya sudah 68%, jadi sudah benar khan ? Saya bertanya lagi, apakah sudah pernah digambarkan plot-nya ? Dia menjawab, tidak.

WOWWW, hebat sekali... atau dengan kata lain "ceroboh sekali", mana bisa beberapa variabel penelitian dimodelkan dengan paksa menggunakan model linear dan hanya melihat korelasi serta total keragamannya saja? Peneliti tidak melihat pola hubungan antar variabel, padahal seharusnya secara logika kita tahu bahwa tidak semua variabel berhubungan secara linier, bisa saja kuadratik (membentuk parabola), eksponensial, trigonometrik dan sebagainya. Dan nilai korelasi tidak terlalu terkait dengan hal ini. Korelasi hanya menunjukkan adanya hubungan atau tidak. Hal yang lebih fatal dilakukan si-dokter dalam penelitiannya adalah bahwa dalam membuat model regresi, dia tidak memeriksa error. Padahal, regresi linier menggunakan konsep "least square" yakni kuadrat terkecil error dan oleh karenanya, nilai error dalam memformulasikan model didekati dengan nilai nol. Error dalam regresi diharuskan memenuhi asumsi identik, independen dan berdistribusi normal. Dan ini adalah hal wajib yang harus dianalisa oleh setiap peneliti setiap kali membuat model regresi.

TIDAK ADA ALASAN
Kebanyakan dari mereka bukannya tidak tahu, tapi menganggap bahwa memeriksa error adalah hal yang tidak penting. Banyak alasan, toh modelnya jadi, toh biasanya (pendahulu saya) juga begini atau dalam ilmu sosial, analisis statistik tidak perlu terlalu rumit. Namun bagi saya, tidak ada alasan untuk mengatakan hasil penelitian seperti ini dapat dipercaya. Bayangkan anda memotong roti dengan gergaji, membuat pakaian dari kertas tissue, menyisir rambut dengan sikat gigi.

Ternyata, kesalahan seperti ini tidak saya jumpai hanya pada dokter tersebut, beberapa dokter lain dan farmasis di institusi yang berbeda juga melakukan kesalahan seperti ini. Bukan hanya dokter, karena seorang dosen FISIP disebuah universitas yang sedang melakukan disertasi untuk doktoralnya juga mengabaikan beberapa asumsi error dalam pemodelan regresi.

Tidak disadari, begitu banyak penyalahgunaan ilmu statistik di kalangan penggunanya dan mayoritas adalah profesi-profesi yang "terhormat" (diharapkan masyarakat dapat memberikan pencerahan), seperti dokter,apoteker dan dosen. Jika dia dokter atau apoteker, dan hasil penelitiannya dipakai untuk pengobatan, bisakah anda bayangkan nasib para pasien. Dan jika dia dosen, bisakah anda bayangkan akumulasi kesalahan yang akan terus tertanamkan pada mahasiswanya ? Dan untuk profesi lainnya, apakah akan diperoleh keputusan yang benar berdasarkan data ?

1 komentar:

marmotji said...

yah, itu lagi, itu lagi. Jangan lupa dong.
Bahwa profesi2 itu sudah sangat mapan di tengah2 masyarakat; jadi ngapain ngurusin error mulu ? toh mereka sudah error duluan...hihihi