February 10, 2010

Yang Disukai Belum Tentu Yang Banyak Dipilih (Sebuah Kesalahan karena Bahasa dan Asumsi)

Saya suka buah semangka, tapi yang sering saya makan adalah buah pisang (karena mudah mencarinya dan lebih praktis untuk dikonsumsi). Saya suka kain batik, tapi paling sering pakai kemeja bergaris (karena lebih terkesan simpel), saya suka bunga Anggrek, tapi yang ada di halaman rumah saya adalah bunga sakura (karena anggrek lebih susah perawatannya).


Pernyataan diatas tampaknya sepele, tapi perhatikan lagi pernyataan berikut :

Saya suka Hotel Santika, tapi lebih sering menginap di Hotel Montana bila berkunjung di kota Malang, Saya suka pelayanan Bank Niaga, akan tetapi saya lebih sering bertransaksi di Bank BNI, saya suka makan di Pizza Hut, tapi lebih sering makan di Mc Donald bila sedang berada di mall, saya sangat kagum dan senang dengan layanan di Laboratorium Klinik Prodia, tapi lebih sering cek up di Mount Elizabeth Medical Centre Singapura.

Ini hanyalah salah satu contoh kasus dalam menyatakan "kesukaan" dan "pilihan". Bagaimana telaah riset dan marketing dengan pernyataan-pernyataan diatas?

Kesalahan (bias) dalam riset pemasaran seringkali terjadi karena kesalahan bahasa (struktur maupun pemilihan kata-kata) pada kuesioner. Atau, terburu-buru memberikan kesimpulan atas pernyataan responden. Dari 2 paragraf teratas tulisan saya ini, jelas ada alasan menyukai atau mengagumi sebuah produk/ merek, akan tetapi hal ini tidak selalu berkorelasi dengan pilihan responden. Dengan kata lain, ada alasan "menyukai sebuah produk/ merek" dan ada alasan "memilih sebuah produk/ merek"; namun keduanya belum tentu memiliki korelasi.

Seringkali pula, para marketer begitu "bahagia" mengetahui bahwa produk/ merek nya disukai banyak orang, dikagumi banyak orang, menyandang predikat/ identitas tertentu seperti : "The Best Brand", Top of Mind, atau "Kopinya Orang Batak". Dan akhirnya, buru-buru menyimpulkan bahwa aktifitas marketing/ branding yang selama ini dilakukan membawa dampak yang membahagiakan tersebut. Padahal predikat/ identitas itu belum tentu mencerminkan apakah produk/merek itu lebih banyak dipilih. Akhirnya, jika pendapatan tidak jua meningkat, akan muncul kesimpulan seperti : daya beli menurun, pasar lagi lesu, produk terlalu mahal, dsb. Lalu berupaya untuk mereposisi produk atau bahkan banting harga dengan diskon 50%.

Ini pula yang nampaknya terjadi saat ini, saat isu tentang krisis melanda. Muncul begitu banyak asumsi: konsumen hilang, daya beli menurun, maka pendapatan pasti akan menurun. Sudah benarkah asumsi ini?

Disalin dari catatan saya di Facebook, 19/2/2009

2 komentar:

free FONTS said...

saya setuju mas!

Unknown said...

Thank you for your comment and appreciation, I'm so glad if the articles on this blog can be useful for you