
Batik, sekitar 10 tahun yang lalu ketika seseorang mengenakan busana bermotif ini terkesan sebagai seseorang yang akan menghadiri acara formal dan identik dengan orang dengan usia matang (diatas 30 tahun). Namun, kini kesan ini seolah hilang. Hampir bisa kita temui orang-orang berbusana batik dengan nuansa yang santai dan tidak hanya dikenakan oleh orang-orang usia matang, akan tetapi remaja dan bahkan anak-anak.
Berbusana dengan motif batik kini telah menjadi trend. Wanita-wanita Indonesia tampak makin cantik dan anggun dalam balutan kain batik ini. Tak ada lagi kesan "tua", jika melihat orang berbusana batik.
Ini adalah sebuah kesuksesan, yakni kesuksesan untuk merubah image. Produk boleh sama, namun kemasan perlu didesain memenuhi kebutuhan konsumen. Dan kemasan kali ini adalah pada kreasi model busana batik. Model busana batik kini begitu beragam. Kombinasi kain batik dengan jenis kain yang lainpun (seperti : kaos, katun polos, satin, bahkan kain rajut) dimungkinkan untuk mencipta kesan baru. Kesan santai yang selama ini tak nampak.
Kesuksesan ini tentunya bukan kebetulan. Ada strategi marketing yang patut diacungi jempol untuk berani merubah kemasan produk yang seakan-akan dianggap produk sakral ini. Dan awal dari semua itu tentu adalah kelihaian dalam kebutuhan dan perilaku pasar secara psikografis.
Saat apa konsumen merasa nyaman mengenakan busananya? Salah satu jawaban adalah saat mereka merasa mengenakan busana sesuai dengan waktu dan tempatnya.
Apakah dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak kegiatan formalitas yang harus dihadiri? Pada tahapan ini, tampaknya ada pengelompokkan pasar berdasarkan usia dan aktivitas.
Tak berhenti sampai disini, desain busana selanjutnya dirubah dengan berani mengikuti selera kenyamanan konsumen, yakni busana sehari-hari. Pemetaan pasar memudahkan para perancang mengisi celah dan memanfaatkan peluang "produk anak negeri". Para perancang bukan hanya merancang busana yang tampak indah bagi mereka sendiri atau tampak indah saat peragaan busana, namun yang realistis bisa dipakai konsumen, dalam kesehariannya. Pada tahap ini, peran etnografi survey sangat membantu untuk melihat insight dengan lebih detail dan spesifik.
Langkah selanjutnya hingga batik menjadi busana yang cukup digemari saat ini adalah variasi harga. Harga batik begitu terjangkau sehingga orang tak segan untuk mencoba, "pantas atau tidak ya, mengenakan busana ini?". Bayangkan saja paling murah saya menemukan harga baju atasan batik seharga Rp.25.000,- dan paling mahal bisa mencapai Rp.500.000 bahkan untuk gaun ada yang seharga Rp.1.000.000,-.
Apa yang dapat membedakan memunculkan variasi harga yang begitu besar ini? Tak lain adalah desain dan kualitas. Desain terkait dengan apakah busana merupakan rancangan original dari perancang terkemuka atau merek terkenal seperti Batik Keris ataukah desain sudah merupakan rancangan imitasi? Selain itu juga pada kombinasi accesoris, apakah accesoris merupakan pernik yang susah dicari atau mahal, atau hanya merupakan pernik imitasi yang juga tak kalah cantik dengan aslinya. Kualitas kain juga mempengaruhi harga busana batik. Mau pilih kain batik berkualitas dengan bahan halus dan motif batik tak mudah luntur, atau hanya dengan ala kadarnya kain batik yang mudah kusam setelah berulangkali dipakai. Ala kadarnya kain batik, inipun juga pilihan bagi konsumen-konsumen yang ingin dikesankan memiliki banyak busana atau selalu mengikuti trend busana, sehingga mereka tak perlu berulangkali memakai busana yang sama.
Langkah lain adalah kesiapan para produsen busana batik memperluas jalur distribusi. Jika dulu kita hanya akan menemukan batik di butik-butik tertentu atau pasar kain tradisional dan harus datang kesana. Kini makin banyak toko online untuk batik, anda dapat melihat desain, detail produk dan memesan secara online (seperti ini).
Dan yang terakhir serta penting untuk diperhatikan untuk menjaga persepsi "baik" batik, menjaga kepuasan dan loyalitas pelanggan adalah diberikannya tips-tips perawatan kain batik oleh para penjualnya seperti disini.
4 komentar:
good article,...
tapi setelah melewati perjalanan panjang, sekarang ada "batik cina", yang bikin pedagang batik heboh...
Setiap karya seni punya ke-khas-an tersendiri. Sekarang bisa jadi Batik Cina jadi heboh dan membanjiri pasar fashion di Indonesia karena corak dan warnanya yang memang memukau (terutama) untuk para wanita.
Dengan terus berkreasi dalam design dan tetap pada kualitas yang tepat didukung dengan trik marketing yang cantik, saya yakin "Batik Indonesia" tetap memiliki fans tersendiri.
masalahnya, ditangan RRT, barang apapun (yang dicontek) bisa diproduksi massal (iPhone aja yg limited diproduksi massal, hehehe).dan akhirnya, sampai ke tangan konsumen (di indonesia,khususnya) harganya jadi jauh lebih murah. apalagi sekarang, konsumen indonesia (in general) jadi "price sensitive". asal murah dan bisa bergaya, beli aja.
"buat apa beli tas LV asli, mending beli yang KW3 aja. toh, it looks so real, right?" (itu aku denger dari cece2 di pasar atum, mbak...). tragis kan ?
ya itu lah wajah konsumen kita.
~themarketresearch.blogspot.com~
Ada alasan ketika konsumen dimata kita tampak seakan-akan merupakan tipe "price sensitive". Kadang mesti melihat dari kacamata & sudut pandang yang berbeda. Ada kalanya sebuah produk sangat kecil untuk membuat sebuah diferensiasi di persepsi konsumen, sehingga keunggulan dan perbedaan kualitas tak lagi tampak. Ada kalanya, mereka hanya mengejar untuk masuk dalam "kelas" tertentu.
Post a Comment