Showing posts with label Seputar Medis. Show all posts
Showing posts with label Seputar Medis. Show all posts

February 10, 2010

Popeye aja tau

Iseng pas ganti-ganti channel TV, lihat film kartun Popeye. Waahh... tapi saya ga hapal nama pemerannya ya...

Di potongan cerita itu saja ada Bapak Popeye dan dua anaknya A (kakak) dan B (adik). Suatu saat si B sakit perut, dan sang kakak bilang,"minum aja obat kakak, dulu kakak dikasih dokter pas sakit perut dan sembuh". Buru-buru si Bapak mengatakan, "eh, jangan minum sembarang obat, obat itu diberikan dokter hanya untuk kakak".

Diluar cerita popeye itu,
Kemarin juga pas ngelihat ada berita di salah satu televisi yg menceritakan seorang anak yang kulit di sekitar lehernya jadi gosong setelah imunisasi di sekolah. Lalu ada penjelasan seorang dokter bahwa "imunisasi itu menjadi memberikan masalah pada si anak karena ternyata anak tersebut menderita alergi tertentu yang dibilang "langka".

Perilaku yang umum di sekitar kita, setelah seseorang dokter memberi obat A kepada pasien, maka bila sembuh, dengan mudahnya pasien tersebut menyarankan obat yang sama pada orang lain dengan keluhan penyakit yang sama; dan ironisnya obat tersebut lantas juga dikonsumsi tanpa berkonsultasi dengan dokter.

Padahal pemberian obat maupun imunisasi adalah tindakan memasukkan bahan kimia ke dalam tubuh. Tentunya harus spesifik donk, karena tidak semua manusia bisa di sama-kan kondisi tubuhnya.

Popeye aja tahu....!!!

Disalin dari catatan saya di Facebook, 22/2/2009

Rumah Sakit



Foto diatas saya ambil tanggal 21 Oktober 2007, jam 11.24 WIB di salah satu jalanan RSUD Dr.Soetomo.


Rumah sakit rujukan se Indonesia Timur ini, tempat pendidikan utama para dokter, tempat para ahli di bidang kesehatan berprofesi nampak kumuh. Siang, apalagi malam; nampak tikar tergelar dengan para penjaganya (diantara para penjaga bahkan bayi hingga kakek nenek). Sungguh mengenaskan.

Tak dapat disalahkan, sehingga para penjaga itu turut menginap di Rumah Sakit ini. Mereka datang dari luar kota, bahkan luar pulau. Mau nge-kos di Surabaya, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan?, mau meninggalkan bayi di kampung halaman - siapa yang akan menjaganya? dan bagaimana tega meninggalkan orang tercinta dalam kondisi sakit di perantauan.

Lalu bagaimana? Apakah selama bertahun-tahun berdiri, selama bertahun-tahun menelorkan para tenaga ahli (sehingga ketika sudah ahli tak lagi mau berada di rumah sakit ini lebih dari 2 jam sehari) tak juga bisa disediakan tempat berteduh yang layak untuk para penjaga pasien?

Siapapun ga berharap akan menginap disini, seberapapun elite nya sebuah rumah sakit. Kenapa di Indonesia dinamakan rumah sakit ya?


Disalin dari catatan saya di Facebook 17/5/2009

Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

Sementara teknik manipulasi berkembang begitu pesat, teknologi kedokteran dan farmasi merayap saja susah.

Kalimat diatas menggambarkan kejengkelan saya terhadap masyarakat di negeri Indonesia tercinta ini yang merusak sendiri image kekayaan bangsanya.

Bagaimana bisa berbangga hati, Bagaimana bisa tidak beralih menjadi penyuka produk bangsa lain dan bagaimana bisa tak sinis?

Di salah satu acara TV One bertajuk Yang Membeli, Yang Tertipu (26/05/09 pukul 01.00 WIB), ditayangkan investigasi tentang manipulasi produsen Geplak di Jogjakarta demi untuk meraih rupiah.

Geplak merupakan makanan tradisional di Jawa Tengah, pastinya karena Jogjakarta adalah merupakan salah satu tujuan wisata domestik maupun internasional, makanan ini kerap dipilih sebagai oleh-oleh atau sekedar camilan santap sore.

Geplak tak lagi dibuat dengan bahan bakar parutan kelapa, melainkan parutan pepaya muda,pewarna yang dipakai tak lagi adalah pewarna makanan, melainkan pewarna pakaian bahkan pewarna plastik. Lagi-lagi hal ini dilakukan atas dasar alasan ekonomi : kelapa mahal dan pewarna makanan jauh lebih mahal dibandingkan pewarna pakaian / pewarna plastik.

Padahal siapa suruh beri harga murah untuk geplak?

Pantas saja, perkembangan varian penyakit begitu berkembang pesat di negeri ini, hingga obat-obatan dari negeri seberang tak lagi mampu mengatasinya. Yah, karena estimasi makanan/ minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat kita jauh dari prakiraan standar mereka. Sementara itu teknologi kedokteran dan farmasi kita masih saja berjalan di tempat karena penelitian tidak dikembangkan, sebagian besar hanya copy-paste dari penelitian yang ada di negara lain. Ironisnya, profesor di bidang kedokteran justru yang terbanyak di negeri ini, Doktor di bidang farmasi-pun tak jarang kita temui.

Katanya sudah ada pembinaan bagi para produsen geplak ini, namun kasus yang sama masih saja terulang. Apakah cukup dimaklumi dengan embel-embel "ketidaktahuan" ataukah ini merupakan sketa "keserakahan"?

PR Besar???
Ya, ini memang PR besar bagi para orang pintar di negeri ini, bagi para pejabat dinas kesehatan, pejabat balai POM, pemerintah kota Jogjakarta dan siapapun yang merasa peduli akan citra kuliner tradisional di negara kita.

Disalin dari catatan saya di Facebook, 26/5/2009

August 8, 2008

Hidup Sehat, Milik Siapa?


Begitu banyak kampanye kesehatan yang kita temui akhir-akhir ini. Apakah ini untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010? Tapi memang bukan hanya dari dinas kesehatan, para perusahaan farmasi, rumah sakit, medical centre, dll. Untuk memenangkan pilkada atau pemilu yang akan datang pun, sudah ada partai politik yang mengusung tema, menyehatkan masyarakat, kesehatan murah katanya.

Apa benar begitu? Bagaimana caranya ya?
Mustinya jika memang tujuan Indonesia Sehat 2010 ini benar, harus ada strategi menuju kesana, dan harus mau berbeda dari sebelum-sebelumnya. Jadi musti mereview, apa sih yang sudah terjadi selama ini.

- Tindakan Preventif Lebih Baik, tindakan preventif seperti apa yang dimaksud ?
* Olah raga, yang satu ini memang murah dan bisa diperoleh oleh siapa saja yang sehat fisik/ jasmani saat ini. Asalkan, tempatnya ada... ya sama aja donk kalau tempat kumuh atau rentan polusi, mau jogging disitu apa ga tambah kena penyakit ? Pilih tempat lain yang agak jauhan, boleh juga. Kalau ke fitness centre jelasnya jadi mahal.

* Periksa rutin. Boleh juga, kalau cuma periksa fisik ke puskesmas sih murah, tapi kalau musti ke laboratorium klinik atau ke dokter spesialis, yang ada mereka akan anjurkan General Medical Check Up, dan yang ini tetap ga mahal untuk sebagian orang (yakni yang dibilang segmen kelas atas), jadi bagaimana dengan kelas bawah?

* Jangan makan makanan yang mengandung kolesterol berlebih. Ini paling murah, bisa, pasti untuk semua orang. Tergantung niatnya aja

* Hindari makan makanan yang mengandung pengawet. Bisa juga sih, asal mau usaha.

- Kalau sudah sakit, segera obati
* Ke dokter, disuruh ke laboratorium klinik trus balik lagi ke dokter, ITU MAHAL. Kalau ga, dokternya juga salah lho... masak cuman periksa fisik aja. Masa' ga ada laboratorium murah sih? Ada, tapi kualitasnya katanya meragukan? Sekalipun di rumah sakit pemerintah? Ya silahkan diuji saja.

* Datang ke pengobatan gratis. Ini bukan penyelesaian. Coba aja deh, review apakah kegiatan-kegiatan baksos seperti pengobatan gratis itu cukup optimal? Atau cuman untuk penyakit-penyakit kecapekan seperti batuk dan pilek?

Tampaknya, kesehatan butuh uang dan saat ini uang memang segala-galanya. Kalau mau berkata tidak, kondisi seperti ini adalah peluang dan tantangan. Kalau kemarin saya bertemu dengan seseorang yang mengatakan, "rasanya istilah sehat itu lebih mahal daripada sakit, tidak lagi bener, karena pengobatan kadang lebih murah dari pada tes laboratoriumnya", ya ada benarnya juga saat ini. Dan inilah sebenarnya peluang / tantangannya.

Apakah harus general check up jika data medical record seseorang telah diketahui dan saat ilmu pendataan & statistik telah sedemikian berkembang? Mustinya kan bisa memetakan dan memperhitungkan probabilitas seseorang laki-laki berusia 30 tahun dari keturunan ayah diabetes dan ibu obesitas dan dengan golongan darah A,dan pola gaya hidup....bla bla bla...akan menderita suatu penyakit tertentu, jadi tes laboratoriumnya fokus ke sana dulu (prioritas lah).

Dengan berkembangnya ilmu statistik dan penelitian kedokteran, kalau mau dimanfaatkan dengan baik, mustinya tes-tes laboratorium dapat difiler sedemikian rupa, sehingga pada screening awal, tidak perlu ada banyak pemeriksaan untuk pasien yang pertama kali datang periksa.

Hanya mencoba memandang dari sudut pandang "orang awam", yang susah bener mengerti banyak istilah medis dan kenapa perlu periksa ini dan itu.

February 20, 2008

Berlimpah, namun Tampak Kekurangan... Atau Sebaliknya

Menyikapi banyaknya keluhan : obat mahal, fasilitas kesehatan terbatas yang sering muncul di beberapa media nasional mungkin membuat sebagian dari kita mengelus dada, merasa iba dan mungkin sedikit bertanya-tanya, kenapa bisa demikian ?

Dari tahun ke tahun, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk kesehatan tidak bisa dibilang kecil. Kalau diamati, dibidang kesehatan ini juga banyak peran swasta dalam berbagai model CSR-nya; asuransi kesehatan, pengobatan gratis, posyandu, operasi katarak gratis, dan sebagainya yang kesemuanya itu berujung pada tujuan pemerataan fasilitas kesehatan. "Rakyat Sehat, Negara Kuat", memang sebuah slogan yang sangat masuk akal, namun bagaimana mewujudkannya ?

Namun, persepsi-persepsi yang terungkap pada paragraf diatas hilang seketika saat saya melihat kondisi ini (foto). Ya, foto disamping memang hanya foto infus dan jarum suntik yang ditaruh dalam sebuah tas plastik. Ingin tahu dimana saya mengambilnya ? Waktu itu saya meminta ijin, mengambil foto ini dari pasien askes rawat inap sebuah rumah sakit pemerintah yang hendak pulang (karena terapinya telah selesai). Saya tertarik mengambil gambar ini karena, dari beberapa sampling (ruangan perawatan dalam rumah sakit ini), selalu ada sisa obat, sisa infus atau sisa jarum suntik yang dibawa pasien. Okelah, jika sisa obat. Namun, bagaimana dengan sisa infus dan jarum suntik ? Bukankah pasien sudah tidak bisa menggunakan dirumah (karena setahu saya, penggunaannya adalah dengan pemantauan dokter).

Bukankah dengan melihat ini, dapat kita katakan bahwa obat-obat kita cukup berlimpah ? Ataukah tidak ada perencanaan logistik obat ? Ataukah, tidak memungkinkan lagi mengembalikan obat-obat ini sehingga dapat dipergunakan oleh pasien lain, sehingga tidak ada lagi teriakan pejabat paramedis sebuah rumah sakit..."duh,rumah sakit kita kekurangan obat".

Mungkin klise, karena saya yang mengatakan ini memang bukan berada didalam sistem perawatan kesehatan. Namun sekedar uneg-uneg calon pengguna dan semoga menjadi wacana bagi yang berada didalamnya:
- sistem IT kita sudah lebih baik dan oleh karenanya tidak akan sulit meng-estimasi kebutuhan/ logistik obat-obatan sehingga tidak lagi dijumpai kelebihan infus atau jarum suntik pada pasien yang sudah pulang atau kekurangan stok obat-obatan sehingga pasien (kurang mampu) tidak seharusnya terpaksa membeli diluar rumah sakit pemerintah.
- daripada terbuang percuma, rasanya sebagian besar pasien tidak akan keberatan jika diperbolehkan menukar/ mengembalikan kelebihan infus atau jarum suntik jika memang tidak diperlukan lagi. (tentunya, jika pasien membeli, uangnya akan kembali).
- perusahaan farmasi, rasanya bukan perusahaan yang kesulitan mencari penghasilan (tanya saja pada para apoteker, berapa harga pokok satu butir obat dan laba yang diperolehnya, atau amati saja begitu mudahnya perusahaan farmasi mengeluarkan dananya untuk entertainment para dokter). Jadi, biarkan mereka mencari cara yang lebih baik untuk sukses me-marketingkan produknya

January 14, 2008

Profesionalisme, Etika atau Kebutuhan Hidup

Beberapa waktu berlalu, dipenghujung tahun 2007 hingga saat ini beberapa kejadian menimbulkan pertanyaan pada saya. Apa makna profesionalisme sebenarnya ? Profesi-profesi ini dikenal sebagai profesi yang mulia beberapa periode lalu. Namun, sepertinya (bagi saya sebagai awam) dengan semakin banyaknya peminat, semakin mahalnya biaya kuliah membuat sebagian orang pada profesi ini dan bahkan profesi lain di institusi tempat dia bekerja melakukan penyalahgunaan kepercayaan dari penggunanya.

Profesi yang saya sebut diatas adalah dokter dengan institusi didalamnya adalah rumah sakit. Di kota sebesar "Surabaya" mana mungkin anda akan kesulitan menemui seorang dokter ahli (kecuali mau bayar mahal di praktek atau rumah sakit kelas elit). Yaah, inilah kenyataan.

Beberapa dokter spesialis yang memang sudah dijadwalkan hadir di poli onkologi RSUD Dr. Soetomo misalnya, bisa saja tidak hadir dengan alasan sepele : anaknya wisuda, dokternya ikut seminar ke luar kota dan akhirnya di poli hanya tinggal dokter PPDS. Padahal jelas bahwa pada kasus-kasus tertentu keputusan dari dokter spesialis sangat dibutuhkan. Dengan tidak bermaksud meremehkan media komunikasi via hp, tapi bagaimana dokter bisa memutuskan tanpa adanya medical record yang bisa digaransi akurasinya. Kalau ini, ya memang saya meremehkan model medical record RSUD Dr.Soetomo memang.

Berbicara soal medical record, bukankah sesuai poster yang ditempel di sebagian besar dinding ruang rawat inap RS tersebut sudah jelas bahwa pasien berhak mendapatkan semua dokumen berkaitan dengan hasil pemeriksaan, berhak mencari opini dari dokter lainnya dengan sepengetahuan dokter yang merawat. Namun pada kenyataannya ? Mana bisa. Dari wawancara dengan beberapa pasien dan keluarga pasien, bahkan ada yang satu hari menjelang operasi meminta hasil pemeriksaan rontgen dan USG namun diketahui malah tidak berada ditempat alias hilang. Ada juga yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya raib entah kemana. Kalaupun ada, apakah hasil pemeriksaan ini bisa diminta pasien (mengingat, pasien sendiri yang mengeluarkan biaya untuk pemeriksaan tersebut). Sebagian besar pasien menyatakan: tidak pernah meminta, sisanya menjawab : bisa, tapi sulit atau hanya diberi rangkuman hasil pemeriksaan (bukan hasil pemeriksaan asli dari dokter, dan itupun hanyalah salinan, yang kadang tidak jelas, bahkan harus bayar lagi).

Jika memantau lebih dalam di ruang-ruang rawat inap, dan perhatikan setiap pasien yang pulang. Berapa banyak pasien pulang tanpa menyisakan obat infus ? Artinya saat membeli obat infus, selalu berlebih, tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Apakah paramedis tidak diajari tentang estimasi kebutuhan dan efisiensi ?

Ini nih, belum lagi ditambah dengan urusan administrasi rawat inap. Wah, susah bener deh pokoknya... saya aja yang coba menelusuri prosedur pengurusan rawat inap askes di Soetomo merasakan beberapa hal ini :
- Informasi tidak jelas
- Kemana-mana jauh banget
- Petugasnya "agak" ketus
Kalau pasien dan keluarganya dari perantauan, gimana donk nasibnya ?

Dengan sebegitu rumitnya penderitaan yang dialami orang "tidak kaya" yang butuh perawatan medis atas sakit yang dideritanya. Apakah dokter kini hanyalah sebuah gelar ? Ataukah rumah sakit hanyalah institusi bisnis semata ?

Sebuah sumber menyatakan bahwa dari hasil riset yang dilakukannya, diketahui bahwa sekitar 30 - 60% pendapatan dokter berasal dari farmasi ? Fenomena apa ini ? (Sudah rahasia umum sebenarnya). Andaikan saya seorang dokter yang "matrealistis", wah jelas saja saya akan berbaik-baik pada farmasi dan pasien hanyalah sambilan ? Berapa banyak ya, yang bersikap seperti itu? Dan apa yang terjadi dengan pasien ? Apakah mengikuti kongress dan seminar adalah bentuk profesionalisme dokter dibanding dengan merawat pasien ? Bagaimana batasan etika kedokteran ? Ataukah ini demi sebuah kebutuhan yang harus dimaklumi oleh segenap masyarakat ?

December 22, 2007

Andaikan Medical Card itu Berfungsi

Bila anda adalah pelanggan sebuah rumah sakit, heathcare, labaoratorium atau klinik pastilah anda memiliki kartu periksa atau mungkin mereka sebut kartu pelanggan. Namun sejauh mana kartu-kartu itu berfungsi ? Maksimalkah fungsinya ?

Dalam bayangan saya, sejenak setelah menerima kartu itu akan banyak manfaat yang saya peroleh, minimal adalah mempercepat proses transaksi dan pencarian data pemeriksaan suatu saat diperlukan. Apalagi jika electronik medical record bisa dengan mudah saya akses. Wah, ternyata tinggal bayangan saja.... padahal rumah sakit, heathcare dan laboratorium penerbit kartu itu adalah lembaga yang cukup terkemuka.

Penasaran, kenapa mereka tidak memanfaatkan kartu itu sebagai added value (bukan seperti saat ini, sekilas tidak jauh berbeda layaknya kartu identitas) ? Dengan sedikit rasa penasaran, saya coba amati dan gali management pelanggan beberapa penyedia layanan jasa tersebut.

Sangat disayangkan, melihat sebuah pengambilan keputusan yang sangat boros. Sebenarnya di management tingkat atas menginginkan adanya kualitas yang tinggi atas layanan pelanggan yang didukung dengan IT. Sayangnya, pengambil keputusan dibawahnya tidak tahu bagaimana dan akhirnya salah mengambil keputusan yang berdampak juga pada salah mensosialisasikan ke lini yang dibawahnya. Efek beruntun-pun (istilah saya sendiri) bergulir. Muncul berbagai persepsi dan akhirnya, beberapa pimpinan di tingkat middle yang notabene telah cukup "mapan" dalam posisinya, enggan untuk ikut berkontribusi. Efek terakhir adalah, staf ditingkat operasional meremehkan keputusan tersebut dan berperilaku seenaknya.

Didukung oleh sifat beberapa paramedis didalamnya yang cenderung "convensional" dan "sedikit mamik", maka idealisme memberikan added value sekaligus usage value berkaitan dengan layanan pelanggan gagal total. Idealisme ini bahkan nampak aneh bagi sebagian mereka, yang saya ketahui sangat rendah minatnya untuk mempelajari hal baru.

Loss to Society
Bagaimanapun investasi perusahaan telah dikeluarkan (atas kebutuhan pimpinan teratas), namun proses telah salah dilakukan dan akhirnya mengakibatkan "image" buruk. Sadar atau tidak, kerugian telah muncul atas perilaku ini. Bukan hanya bagi perusahaan, namun juga bagi pelanggan. Kerugian ini, kalau mau dicermati bukan kerugian sesaat, namun akan terus bergulir dan bisa saja berlipat secara eksponensial. Apakah para pelaku medis masih tidak merasa sayang dengan hal ini ?

December 6, 2007

Ketakutan Psikologis, Empaty dan Peluang.

Kanker payudara, sebuah penyakit yang menakutkan bagi hampir semua wanita di bumi ini, utamanya yang sudah berusia matang. Dan mamografi adalah merupakan salah satu cara uji awal adanya tanda-tanda penyakit ini.


U.S. National Cancer Institute menyatakan hasil temuannya pada 29 Nopember lalu bahwa permintaan mamografi pada wanita usia 40 tahun keatas kini menurun. Salah satu dugaan adalah karena mamografi bukanlah merupakan sebuah pemeriksaan yang mudah bahkan menyakitkan serta memalukan bagi sebagian wanita. Para wanita ini lebih memilih melakukan pemeriksaan X-Ray daripada mamografi jika tujuannya adalah deteksi dini. Cara ini dianggap lebih mudah dilakukan oleh para wanita.

Mamografi memang bukan satu-satunya penanda tumor/ kanker payudara ataupun pemeriksaan terbaik untuk deteksi dini adanya resiko kanker payudara, namun masih dianggap pemeriksaan yang paling efektif menurut Dr.Michael Naughton.

Penurunan jumlah permintaan mamografi (untuk upaya deteksi dini kanker payudara) ini sudah merupakan kegelisahan bagi paramedis, utamanya dokter di Amerika.

Dengan penggalian informasi lebih jauh, akhirnya ditemukan bahwa sebenarnya penurunan jumlah pemeriksaan mamografi bukan semata karena pemeriksaan ini sulit, menyakitkan ataupun memalukan. Tapi, lebih karena para wanita memiliki rasa takut yang berlebihan. "Jangan-jangan menderita penyakit tumor/ kanker payudara". Mereka hanya tidak ingin mendengarkan berita ini, sekalipun dengan mendengarkannya, mereka dapat mengantisipasi dan melakukan terapi penyembuhan.

Kondisi ini senada dengan penelitian yang pernah saya lakukan terhadap keengganan masyarakat melakukan pemeriksaan laboratorium sejak dini (sebelum sakit). Bahkan dengan pemberian dana gratis (misal dari kantor/ agen asuransi/ promosi laboratorium dan RS). Mereka ini bukannya orang yang tidak berpendidikan, bukan juga orang yang kurang mampu dan tidak mengetahui informasi kesehatan. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa pemeriksaan kesehatan (laboratorium) hanya akan membuat mereka yang sebelumnya sehat (dalam arti mereka : dapat beraktifitas dengan baik) menjadi terbebani dengan hasil diagnosa yang mau tidak mau mengganggu mereka dan keluarga secara psikologis. Efek psikologis ini akan mengganggu pada setiap aktifitas yang mereka lakukan, bahkan pada waktu mereka beristirahat.

Mungkin bagi beberapa paramedis, sikap orang-orang yang enggan melakukan pemeriksaan sejak dini ini dianggap sebagai suatu hal yang naif. Artinya, paramedis ini beranggapan bahwa dengan melakukan pemeriksaan sejak dini, dapat dideteksi adanya suatu penyakit dan selanjutnya agar dapat dilakukan pengobatan/ terapi secepatnya.

Anggapan paramedis ini akan benar bila, setiap permasalahan memiliki solusi yang tidak berdampak pada melebarnya permasalahan (penyakit). Karena yang terjadi saat ini, tidak semua lembaga rumah sakit peduli pada riwayat kesehatan pasien; melakukan pengobatan/ pemberian treatmen hanya pada yang nampak saat ini dan kadang lupa dengan kondisi masa lalu (walaupun tidak semua demikian, dengan merogoh agak lebih banyak kocek).
Jika mau lebih berempati, ketakutan psikologis yang dialami sebagian masyarakat atas pemeriksaan kesehatan merupakan sebuah tantangan yang menjadikannya sebuah peluang beralih ke arah blue ocean (bagi para pengelola jasa kesehatan). Masyarakat butuh Solusi, Kenapa tidak mulai memberikannya ?

November 4, 2007

Dokter, Saya Sakit Atau Tidak ?

Diawal Nopember ini, semarak Hari Kesehatan Nasional Nopember sudah sangat terasa. Salah satunya adalah sebegitu giatnya ajakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.


Di beberapa pemukiman, saya jumpai diadakan pemeriksaan laboratorium kolektif (bekerjasama dengan RT setempat), harga pemeriksaan laboratorium sangat terjangkau; misal untuk pemeriksaan kolesterol atau asam urat seharga Rp.10.000 - Rp.15.000,-. Di kota saya, jelas-jelas beberapa laboratorium dan rumah sakit mengadakan diskon/ keringanan biaya pemeriksaan. Secara bergantian, spanduk dan iklan di media, bahkan terkesan "lucu" bagi saya, mendengar dalam jangka waktu kurang dari 5 menit seorang penyiar radio bisa membacakan adlibs "promo" diskon harga pemeriksaan di sebuah laboratorium, dan di sebuah Rumah Sakit.

Lepas dari aktivitas promosi yang dilakukan para penyedia jasa kesehatan, sekarang saya melihat dari sisi pengguna jasa laboratorium ; yakni pasien dan dokter. Beberapa kali saya berkunjung ke penyedia jasa pemeriksaan laboratorium, yang mereka jelaskan adalah kualitas pemeriksaan. Sebagian besar laboratorium mengklaim, bahwa mereka telah menjalankan quality control pada setiap proses pemeriksaan, seperti adanya kalibrasi dan maintenance alat berkala, cek kualitas reagen, cek kondisi alat, cek suhu ruangan operasional dan tak lupa pemilihan reagen yang menurut mereka lebih baik dari yang lain (entah dari sisi sensitivitas atau spesifisitas).

Berbicara mengenai quality control, sensitivitas maupun spesifisitas, sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa kita sedang memakai statistik. Bagaimana menjamin kualitas atau dengan kata lain melakukan aktifitas quality control jika tidak ada tolok ukur, batas toleransi, kapabilitas proses dan pergeseran proses. Berkaitan dengan hal ini, dan kembali pada proses quality control dalam pemeriksaan laboratorium, secara logika : setiap reagen memiliki nilai normal dan standar deviasi tertentu, demikian juga dengan alat pemeriksaan. Pada saat seorang pasien melakukan pemeriksaan di dua laboratorium yang berbeda pada hari yang sama dan ternyata hasil pemeriksaannya berbeda, yang dikatakan oleh petugas laboratorium selalu sama : "reagen yang kami gunakan berbeda dengan laboratorium lain". Bagaimana jika pasien tidak bertanya, dan hasil pemeriksaan laboratorium dipakai oleh dokter untuk mendiagnosa kondisi kesehatan pasien ?

Setiap lembaga yang melakukan pemeriksaan laboratorium berbicara mengenai kualitas pemeriksaan, bagi saya selaku pasien yang mengeluarkan biaya pemeriksaan, saya harus mendapatkan apa yang saya beli (bukan hanya angka). Sementara itu, pasien juga tidak bisa melihat standar pemeriksaan dari masing-masing laboratorium (dengan alasan : berbeda reagen/ berbeda alat sehingga angka 120 untuk pemeriksaan glukosa di Laboratorium A bisa jadi tidak akan sama dengan angka 120 untuk pemeriksaan glukosa di laboratorium B, lalu bagaiamana dokter dapat mendiagnosa dengan lebih tepat? Padahal hampir tidak ada laboratorium yang mencantumkan parameter-parameter yang menjamin kualitas hasil pemeriksaan (terutama saat didapatkan nilai uji reagen/ alat yang sedikit berbeda ; misal adanya out of control karena variasi alamiah, adanya pergeseran proses karena usia pemakaian alat mencapai batas atas). Dan sangat dapat dimaklumi, seorang dokter tidak akan hapal satu persatu nilai sensitivitas / spesifisitas alat dan reagen tertentu. Lalu bagaimana dengan keputusan yang diberikan untuk pasien. Sehat ? Sakit ? Perlu terapi ? Atau bagaimana ? Kalau sudah begini, sejauh mana pemeriksaan laboratorium diperlukan pasien ? Dan akankan Indonesia Sehat 2010 terwujud ?



October 25, 2007

Mengenang Sejarah - Ultah RS Soetomo ke-69


















Di blog ini, saya sempat menulis kekecewaan pada penanganan sebuah instansi rumah sakit di Surabaya. Kekecewaan karena pelayanan yang menurut saya "tidak simpatik" bahkan "tidak manusiawi".



Beberapa minggu lalu, seorang teman memberi info akan bahwa akan diadakan pameran lukisan dalam rangka ulang tahun Soetomo ke-69, 21 - 29 Oktober 2007. Lukisan mengenai RS Soetomo berikut segala cerita bersejarahnya adalah Master Piece dalam pameran lukisan ini. Wow, menarik sekali.

Dan memang menarik bagi saya. Sejarah dan lukisan.... sesuatu yang indah dan penuh makna. Saya hampir tidak mengenali lokasi-lokasi yang terlukis indah dalam pameran itu.

Oke deh, nampaknya kali ini tidak perlu banyak bercerita betapa haru-nya saya mengingat sejarah RS.Soetomo dan beberapa tempat bersejarah di Surabaya. Karena saya juga bukan dokter, paramedis, apoteker dan sebagainya. Hanya bisa berharap, semoga idealisme para dokter di jaman itu bisa terwujud. Dan tiada lagi "kekecewaan" karena pelayanan yang tidak simpatik dan penanganan yang dirasa pasien tidak manusiawi. Amiin... Amiin...Amiin

September 29, 2007

Idealisme Pasien, Cita-cita Dokter, Harapan Pebisnis dan Masyarakat



Dalam dunia kedokteran, "transplantasi" organ merujuk pada penggantian organ yang rusak dari satu badan ke badan lain (Wikipedia). Transplantasi dilakukan karena, adanya kerusakan fungsi organ (seperti ginjal, hati, mata dan sebagainya).



Kasus-kasus kerusakan fungsi organ tidak lagi bisa dibilang sedikit di Indonesia. Dan ini membutuhkan perhatian, dukungan dan tentunya kesediaan diri sebagai pendonor. Berawal dari kebutuhan ini, beberapa waktu lalu, pasien-pasien penderita gagal ginjal yang pernah melakukan transplantasi (dan tergabung dalam Perhimpunan Transplantasi Ginjal Surabaya - PTS) memikirkan suatu proses, penyediaan wadah bagi masyarakat yang peduli dan bersedia menjadi pendonor, bersedia memberi support secara moril maupun materiil.

Tampaknya, "gayung bersambut". Ide awal dari para pengurus PTS ditanggapi serius oleh beberapa dokter yang tergabung dalam PERNEFRI Surabaya. Ada cita-cita yang mereka "pendam". Dan akhirnya, bukan hanya dokter-dokter nefrologi, namun dokter-dokter spesialis hati, jantung, mata dan sebagainya tampak ikut peduli dengan idealisme pasien.

Idealisme pasien, cita-cita para dokter akhirnya terbaca oleh beberapa pelaku bisnis (saat ini adalah : perusahaan farmasi, rumah sakit, laboratorium dan media) dan masyarakat. Bagi para pelaku bisnis, ini adalah "harapan" baru. Hingga akhirnya, semua berkumpul di Gedung Graha Pena - Surabaya (29/09/07) untuk saling "beradu" kata, menebar semangat, idealisme, cita-cita dan harapan masing-masing.

Langkah ini adalah awal. Namun, semoga idealisme pasien adalah yang utama untuk dapat diwujudkan dan tiada lagi harapan kosong.

September 21, 2007

Dokter, Untuk Apa Kau Ada ?

Diambil dari wikipedia : Dokter (dari bahasa Latin yang berarti "guru") adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran.


Bukan saya antipati dengan profesi dokter, namun inilah realita yang saya jumpai. Ada atau tidak ada, toh kata sebagian dokter : "namanya juga usaha untuk penyembuhan, bisa atau tidak bisa sembuh saya tidak tahu". Pertanyaan saya, "Apa bedanya dokter dengan dukun/ paranormal?" Katanya dokter ilmiah, namun apakah tidak bisa memberikan penjelasan secara ilmiah ? Apakah sewaktu di bangku kuliah tidak diajarkan mengestimasi peluang suatu kejadian dengan memapaparkan resiko-resiko yang terjadi ?

Tulisan saya kali ini adalah ungkapan kekecewaan yang mendalam pada profesi dokter. 2 bulan lalu, putri seorang kerabat (berusia 3 bulan) didiagnosa sakit kuning dan dari beberapa pemeriksaan seorang dokter spesialis hepatolog anak di RSUD Dr.Soetomo Surabaya menganjurkan untuk operasi. Bisa anda bayangkan (jika anda bukan dokter), perasaan orang tua si bayi kala itu. Sempat dari diskusi dengan cak moki kami mencari second opinion pada dokter anak yang praktek di RS Darmo Surabaya, jawaban kurang lebih sama. Akhirnya kami mencari dokter bedah anak dan dokter USG, untuk meminta penjelasan lebih lanjut; Apa yang dioperasi?, Kenapa perlu operasi? Adakah jalan lain selain operasi ? Apa resiko dari operasi tersebut (mengingat organ bayi masih sangat kecil)? dan Bagaimana peluang kesembuhannya?. Namun, nampaknya dokter-dokter itu sangat sibuk (mengalahkan para pebisnis seperti Hermawan Kertajaya atau Kepala negara seperti SBY, tidak bisa ditemui, hari sabtu & minggu libur). Akhirnya, pertanyaan - pertanyaan tersebut digulirkan pada dokter spesialis hepatolog yang menangani si bayi. Jawaban yang sangat mengejutkan : "..... jalan satu-satunya adalah operasi, kalau tidak mau silahkan dibawa pulang saja". Akhirnya operasi dilaksanakan, syukurlah bayi selamat namun tanpa orang tua bayi mengetahui bagaimana hasil operasinya. Penjelasan yang ada, ternyata endapan pada empedu cuma disuntik saja sudah bisa dikeluarkan.

Saat itu, bayi nampak lebih baik. Ternyata hanya beberapa saat, karena setelah satu minggu kemudian, bayi lemas dan saat ini setelah 2 bulan, perut bayi membesar, kakinya dan tangannya membengkak. Kata dokter, livernya sudah rusak, cairan dalam perutnya harus diambil. Dan sekali lagi dokter berkata, "namanya juga pengobatan, bisa berhasil bisa juga tidak".

Apakah itu jawaban ilmiah ? bagi saya tidak. Apakah jawaban seperti itu jawaban emphaty (takut orang tua shock)? bagi sayapun tidak. Berapa banyak kasus seperti ini ?

Dulu mungkin dokter adalah profesi yang mulia, namun bila sekarang pola kerjanya hanya trial & error dan tidak pernah ada eksplorasi lebih lanjut untuk menghasilkan probabilitas (kemungkinan) error sekecil mungkin, apa bedanya dengan dukun (Maaf saya anggap tidak ada karena kalau ada eksplorasi, bukankah bisa dijelaskan dengan runtut pada keluarga pasien?). Penjudi profesionalpun jauh lebih cerdas dari mereka, karena penjudi mengestimasi setiap kemungkinan dari dadu/ kartu mereka.

August 30, 2007

Hukuman Bagi Malpraktik Yang Pertama Kalinya, Sungguh terlalu!

Beberapa jam lalu, selintas saya melihat tayangan di sebuah stasiun TV swasta diberitakan sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta dikenakan hukuman atas malpraktik yang dilakukan (karena keterlambatan penanganan & diagnosa) berupa pembayaran sebesar dua miliar rupiah kepada keluarga korban. Dan dikatakan ini adalah kali pertama, malpraktek dipersidangkan, padahal kasus tersebut terjadi pada tahun 2005 lalu. Sungguh terlalu...

Sebenarnya kasus malpraktik adalah rahasia umum di Indonesia. Baik rumah sakit, dokter, laboratorium maupun klinik. Sebuah rumah sakit pemerintah ternama yang menjadi rujukan bagi rumah sakit di daerah Indonesia Timur tanpa rasa manusiawi bisa saja menangguhkan operasi pasien, jika pasien tidak dapat menunjukkan uang ("pertanda dia sanggup membayar biaya operasi"), padahal kondisinya sudah sangat kritis. Sebuah laboratorium klinik ternama melakukan malpraktek dengan menyuguhkan diagnosa yang tidak benar (dengan dalih efisiensi & mengirit biaya produksi, merubah proses pemeriksaan tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu apakah dengan proses yang baru hasil pemeriksaannya dapat dipercaya). Adalagi seorang dokter anak terkemuka (bahkan profesor), yang selalu menganjurkan merek susu tertentu bagi bayi hanya lantaran dia adalah pemilik perusahaan susu tersebut. Dan yang paling mengenaskan adalah dokter puskesmas yang membentak-bentak pasiennya, seakan-akan pasien hanyalah merepotkannya.

Sumpah dokter kini (bagi beberapa dokter) mungkin hanyalah rangkaian kata biasa yang mereka ucapkan di akhir masa pendidikan mereka. Tidak ada lagi moralitas, apakah layak dilakukan ? Perlindungan konsumen bagi jasa kesehatanpun sangat kurang. Medical Record, tampaknyapun tidak lagi bermanfaat bila user-nya berperilaku seperti ini.

Dari kacamata awam sekaligus konsumen jasa kesehatan, saya menganggap bahwa kondisi seperti ini berkembang di Indonesia tidak lepas dari perilaku konsumen yang terlalu "naif", merasa membutuhkan sehingga tidak kritis menanyakan setiap treatment yang diberikan dokter pada pasien. Memang, bisa jadi karena ada rasa was-was, nantinya pasien tidak dapat dirawat dengan baik. Namun, apalah gunanya rasa was-was itu.

Baiklah, mungkin kasus malpraktek yang pertamakalinya ini diangkat dan disidangkan adalah awal yang baik bagi semua penyedia layanan kesehatan untuk kembali menelaah apa tugas dan tanggung jawab mereka. Dan semoga semakin membukakan mata para konsumen jasa kesehatan untuk lebih kritis, mencari second-opinion, membaca serta menganalisis sebanyak-banyaknya pengetahuan tentang penyakit dan ilmu kedokteran. Tentunya, dengan ini muncul suatu harapan dan peluang bahwa layanan jasa kesehatan di Indonesia menjadi berkualitas dan bermoral.

July 29, 2007

Pasien Yang Aneh!

Beberapa hari lalu saya datang ke sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Surabaya untuk mengkonsultasikan hasil pemeriksaan laboratorium seorang kerabat. Pada saat menunggu, saya melihat sebuah keanehan yang sudah lazim (mungkin pada mayoritas dokter).

Banyak pasien cantik (“detailer”) di dalam ruang tunggu praktek dokter dan pasien yang benar-benar sakit, menunggu berjejalan bahkan adakalanya berdiri di luar ruang tunggu. Saat itu, saya hanya berfikir, dimana kode etik kedokteran ini berlaku ? Bagaimana bisa seorang pasien yang benar-benar sakit dibiarkan menunggu analisis / diagnosis dari seorang dokter dengan H2C (Harap-harap cemas) sementara, “pasien-pasien cantik” yang segar bugar dipersilahkan masuk kedalam ruang praktek dokter dan berlama-lama didalamnya. Pasien Cantiknya yang aneh atau dokter-nya yang aneh ya ?

Dalam tulisan saya kali ini, tidak ada banyak analisis. Saya hanya ingin menanyakan pada anda praktisi di dunia kedokteran yang masih cukup memiliki idealisme dan moralitas kedokteran, apakah fenomena – fenomena yang saya rasa janggal namun telah lazim dilakukan di beberapa dokter ini, dapat dibenarkan secara kode etik kedokteran ?
- Seorang dokter mengarahkan pemeriksaan laboratorium semua pasiennya ke satu laboratorium klinik tertentu dan mengarahkan pasien untuk membeli obat produksi satu farmasi tertentu dengan pertimbangan kedekatan dokter dengan detailer laboratorium / farmasi tersebut
- Seorang dokter yang dengan mudahnya memvonis bahwa seorang pasien tidak butuh pengobatan karena umur yang sudah lanjut
- Seorang dokter yang enggan membagikan ilmunya (dalam sebuah ceramah awam), jika tidak diberikan imbalan yang setimpal dengan pendapatan yang seharusnya dia terima per pasien.

July 12, 2007

Tanggung Jawab dibalik Angka

Dalam tiga hari terakhir, saya menjumpai kasus yang memprihatinkan dari kasus hasil pemeriksaan laboratorium dan sebenar pernah saya jumpai juga sebelumnya. Dua kejadian pada dua orang (pasien) yang berbeda dan tidak berselang lama, pada saat ada kerabat yang melakukan pemeriksaan laboratorium. Hasil laboratorium tersebut sangat tinggi dan ketika dibandingkan dengan hasil laboratorium lain pun, ternyata angkanya beda (walaupun sama-sama dinyatakan abnormal). Pada saat ini diinformasikan pada petugas laboratorium-nya pun, mereka tidak bisa menjelaskan dengan detail, kenapa bisa seperti itu dan apa solusinya. Lalu bagaimana dengan nasib kesehatan si-pasien ?


Pemeriksaan kesehatan, General Check Up dan pemeriksaan laboratorium sebenarnya saat ini bukanlah suatu hal yang langka. Di Surabaya, misalnya telah menjamur lebih dari seratus laboratorium dan klinik, puluhan rumah sakit/ puskesmas dan health care yang menyediakan jasa pemeriksaan kesehatan (khususnya pemeriksaan laboratorium). Dari beberapa pengamatan, kurang lebih satu lembaga layanan pemeriksaan laboratorium itu mampu menangani 50 hingga 400 pasien per hari (bahkan bisa lebih dari itu). Tinggal kalikan saja dengan jumlah penyedia layanan pemeriksaan laboratorium yang ada, minimal ada 5000 pasien perhari, 125.000 pasien per bulan dan bisa jadi 90% diantaranya adalah orang yang berbeda satu dengan lain (dengan asumsi normal bahwa frekuensi pemeriksaan ulang pada umumnya adalah 3 bulan sekali hingga 1 tahun sekali).


Jika untuk sekali pemeriksaan, pada umumnya dibutuhkan biaya Rp. 100.000,- hingga Rp. 200.000,- lalu anda bisa hitung berapa pendapatan minimal sebuah penyedia layanan pemeriksaan laboratorium dalam sebulan. Mungkinkah ini bisnis yang menggiurkan ?


Berdasarkan pengamatan lapangan yang saya lakukan, tampak adanya agresifitas dari para marketer penyedia layanan pemeriksaan laboratorium ini untuk meraih konsumen (pasien) sebanyak-banyaknya. Tentunya ada yang santun namun tidak sedikit juga yang terkesan ”ngawur” dan kurang etis, seperti : obral diskon, komisi (pada umumnya ke dokter / rumah sakit perujuk agar pasien diperiksakan ke lembaga tertentu). Satu hal yang terpikir oleh saya (mengkait pada kasus yang saya ungkap pada paragraf 1 diatas), bagaimana dengan kualitas pemeriksaannya ?


Jika diskon sedemikian sering dilakukan, bukankah laba perusahaan akan berkurang ? Karena kalau tidak salah pemeriksaan laboratorium membutuhkan cukup banyak ”bahan produksi” (seperti : jarum suntik, reagen, sarung tangan, tabung reaksi) dan tidak mungkin didaur ulang/ digunakan bersama seperti pada saat sebuah pabrik memproduksi sebuah barang sehingga menurut pengamatan saya variable cost jauh lebih tinggi daripasa fix cost. Jadi, hanya ada dua kemungkinan : diskon hanya kamuflase dari harga yang terlampau tinggi ditetapkan dengan tujuan untuk melipatgandakan laba (terutama pada saat tidak ada diskon) atau, kemungkinan kedua adalah adanya pengurangan biaya. Dan yang paling menakutkan adalah jika pengurangan biaya dilakukan pada variable cost dan mempengaruhi kualitas hasil pemeriksaan dan layanan pasca pemeriksaan.


Pasien (dalam pengertian saya) adalah orang yang awam dan selayaknya mendapat informasi yang jelas pada saat dia melakukan pemeriksaan laboratorium. Seseorang yang ingin mengetahui kondisi kesehatannya (dengan latar belakang apapun) dan menginginkan adanya Total Solution. Yang penting adalah ”what next ?”, apa yang selanjutnya dan seharusnya dilakukan jika hasil pemeriksaan tersebut normal atau bahkan abnormal.


Berbicara dalam hal kualitas layanan pasca pemeriksaan, memang banyak lembaga penyedia layanan pemeriksaan laboratorium, namun masing-masing diantaranya tidak menjangkau semua pemeriksaan, misalnya ada yang tidak dapat melakukan pemeriksaan petanda tumor, ada yang tidak dilengkapi dengan pemeriksaan ECG,dan lain sebagainya (dan itu sebenarnya dapat dimaklumi oleh pasien). Namun, untuk kasus penyakit tertentu bukankah kadang seorang pasien mebutuhkan beberapa pemeriksaan yang tidak dapat dipenuhi oleh satu rumah sakit ataupun satu laboratorium klinik. Alangkah lebih baik jika ada sinergi antara penyedia layanan pemeriksaan laboratorium tersebut, apalagi jika bisa disinergikan dengan dokter ahli, ahli gizi, dan apotik sehingga pasien tidak perlu kebingungan dalam menyikapi hasil pemeriksaannya. Faktanya 50% dari kelompok orang yang enggan melakukan pemeriksaan laboratorium menyatakan alasan keenganannya karena khawatir hasil pemeriksaan tersebut mengganggu secara psikis karena tidak menemukan solusi apa yang seharusnya dilakukan ketika ada hasil yang abnormal.


Berbicara dalam hal kualitas hasil, angka yang tertera pada lembar hasil pemeriksaan laboratorium sering membingungkan bagi orang yang awam. Jika pemeriksaan laboratorium dilakukan di dua tempat yang berbeda, bisa jadi angkanya beda dan bisa jadi (dalam statistik), skalanya beda dan tidak dapat diperbandingkan. Kenapa hal ini terjadi ? Mungkin karena perbedaan alat, perbedaan reagen (sensitivitas atau spesifisitasnya) dan perbedaan proses quality control. Seharusnya, pemilihan alat, reagen maupun cara melakukan quality control menjadi hal utama yang dipertimbangkan oleh penyedia layanan laboratorium. Namun jika harus menekan biaya serendah mungkin dengan memilih alat, reagen maupun proses quality control yang minimal karena adanya diskon maupun komisi, bagaimana tanggung jawab mereka terhadap sebuah angka di lembar hasil pemeriksaan ? Apakah akan diperoleh hasil yang valid dan reliable ? Bagaimana dengan nasib kesehatan pasien ?

June 22, 2007

Sebuah Ceruk Yang Tertinggal…

Disaat teknologi informasi telah berkembang sedemikian pesatnya, disaat semua orang telah dimudahkan dengan perkembangan teknologi informasi, saya melihat adanya ketimpangan di sebuah ceruk di negara kita tercinta. Jika mungkin ada yang menggunakan teknologi informasi, namun tidak memanfaatkannya… Sungguh sangat disayangkan.

Hampir semua bidang usaha kini telah menggunakan dan memanfaatkan kecanggihan dan value dari sebuah investasi teknologi informasi, mulai dari industri telekomunikasi, otomotif, kontraktor, pers, perbankan, broadcasting, pariwisata dan pendidikan. Namun ada yang terkesan setengah-tengah dan tidak bisa berpacu dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat ; yaitu jasa medis. Maaf bagi anda yang bekerja di jasa kesehatan (dokter, rumah sakit, healthcare, laboratorium, dll). Marilah kita kaji dari beberapa fakta yang saya temui berikut :

- Kian maraknya hal yang disebut “malpraktek” karena kesalahan penanganan pasien.

Sebagian besar kesalahan penanganan dikarenakan kurangnya informasi mengenai kondisi/ riwayat kesehatan pasien.

- Belum dijumpai adanya rekam medis yang berkesinambungan untuk seorang pasien.

Seorang pasien harus mengumpulkan sendiri berkas-berkas pemeriksaan kesehatannya. Sungguh ironis, sudah sakit namun masih diributkan dengan segala arsip pemeriksaan

- Banyaknya simpang siur informasi mengenai pemeriksaan preventif maupun penanganan suatu penyakit.

Informasi berupa artikel di media masih berupa penggalan-penggalan. Misalkan diinformasikan bahwa susu kedelai baik dikonsumsi setiap hari karena mengandung vitamin…., namun tidak disertai dengan informasi lain seperti karena kandungan zat tertentu, penderita kanker sebaiknya menghindari konsumsi susu kedelai harian karena dapat memicu ….., dst. Mungkin lebih tepatnya informasi yang tersaji tidak berdasarkan 5W + 1 H, ini merupakan suatu ciri dari ketimpangan sebuah teknologi informasi.

- Tidak ada standarisasi layanan/ penanganan pasien

Yang saya maksud dengan standarisasi layanan adalah : informasi apa yang seharusnya digali dari pasien sebelum dilakukan suatu tindakan (pemeriksaan laboratorium lebih lanjut, pemberian obat, rawat inap, dll). Saya sendiri sering menjumpai ketika saya atau kerabat sedang sakit, banyak informasi yang tidak seragam dari para pelaku kesehatan tentang apa yang harus saya lakukan untuk sembuh. Ada yang mengatakan perlu diberi obat tertentu, ada yang mengatakan cukup istirahat saja tanpa konsumsi obat, dan lain sebagainya.

Dan apa akibat dari ketertinggalan teknologi informasi di dunia medis ini ? Hampir 90% masyarakat yang seharusnya membutuhkan layanan medis, namun tidak terlayani dengan baik.

Dari beberapa pengamatan, ketertinggalan teknologi informasi ini sama sekali bukan karena mereka tidak menjangkau. Namun lebih karena, beberapa elemen pelaku jasa kesehatan telah sangat merasa nyaman dengan sistem lama dan “TIDAK MAU BERUBAH LEBIH BAIK” karena “MAMIK (Malas Mikir, ya… itulah istilah yang saya kenal dari seorang kerabat saya beberapa tahun yang lalu). Kenapa mereka berperilaku demikian ? Ya, karena mereka merasa diri mereka adalah “Dewa” yang harus diagung-agungkan dan mereka merasa merekalah yang paling benar, kemampuan yang mereka miliki memang spesifik dan tidak mudah dipelajari seperti halnya mempelajari ilmu management atau accounting. Sungguh arogansi yang tidak manusiawi.

Ada hal yang dlupakan oleh sebagian besar pelaku medis di Indonesia : “Perubahan adalah hal yang abadi”. Jika mereka tidak mau berubah, padahal pasar (konsumen) semakin menuntut akan layanan yang terbaik maka masuknya lembaga medis dari luar negeri yang telah siap dengan segala perangkat serta teknologinya (hardware, software dan brainware) merupakan angin segar yang menyejukkan bagi konsumen dan merupakan angin badai yang akan melibas siapapun yang bersikap arogan dalam menyajikan layanan medis.