August 30, 2007

Hukuman Bagi Malpraktik Yang Pertama Kalinya, Sungguh terlalu!

Beberapa jam lalu, selintas saya melihat tayangan di sebuah stasiun TV swasta diberitakan sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta dikenakan hukuman atas malpraktik yang dilakukan (karena keterlambatan penanganan & diagnosa) berupa pembayaran sebesar dua miliar rupiah kepada keluarga korban. Dan dikatakan ini adalah kali pertama, malpraktek dipersidangkan, padahal kasus tersebut terjadi pada tahun 2005 lalu. Sungguh terlalu...

Sebenarnya kasus malpraktik adalah rahasia umum di Indonesia. Baik rumah sakit, dokter, laboratorium maupun klinik. Sebuah rumah sakit pemerintah ternama yang menjadi rujukan bagi rumah sakit di daerah Indonesia Timur tanpa rasa manusiawi bisa saja menangguhkan operasi pasien, jika pasien tidak dapat menunjukkan uang ("pertanda dia sanggup membayar biaya operasi"), padahal kondisinya sudah sangat kritis. Sebuah laboratorium klinik ternama melakukan malpraktek dengan menyuguhkan diagnosa yang tidak benar (dengan dalih efisiensi & mengirit biaya produksi, merubah proses pemeriksaan tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu apakah dengan proses yang baru hasil pemeriksaannya dapat dipercaya). Adalagi seorang dokter anak terkemuka (bahkan profesor), yang selalu menganjurkan merek susu tertentu bagi bayi hanya lantaran dia adalah pemilik perusahaan susu tersebut. Dan yang paling mengenaskan adalah dokter puskesmas yang membentak-bentak pasiennya, seakan-akan pasien hanyalah merepotkannya.

Sumpah dokter kini (bagi beberapa dokter) mungkin hanyalah rangkaian kata biasa yang mereka ucapkan di akhir masa pendidikan mereka. Tidak ada lagi moralitas, apakah layak dilakukan ? Perlindungan konsumen bagi jasa kesehatanpun sangat kurang. Medical Record, tampaknyapun tidak lagi bermanfaat bila user-nya berperilaku seperti ini.

Dari kacamata awam sekaligus konsumen jasa kesehatan, saya menganggap bahwa kondisi seperti ini berkembang di Indonesia tidak lepas dari perilaku konsumen yang terlalu "naif", merasa membutuhkan sehingga tidak kritis menanyakan setiap treatment yang diberikan dokter pada pasien. Memang, bisa jadi karena ada rasa was-was, nantinya pasien tidak dapat dirawat dengan baik. Namun, apalah gunanya rasa was-was itu.

Baiklah, mungkin kasus malpraktek yang pertamakalinya ini diangkat dan disidangkan adalah awal yang baik bagi semua penyedia layanan kesehatan untuk kembali menelaah apa tugas dan tanggung jawab mereka. Dan semoga semakin membukakan mata para konsumen jasa kesehatan untuk lebih kritis, mencari second-opinion, membaca serta menganalisis sebanyak-banyaknya pengetahuan tentang penyakit dan ilmu kedokteran. Tentunya, dengan ini muncul suatu harapan dan peluang bahwa layanan jasa kesehatan di Indonesia menjadi berkualitas dan bermoral.

2 komentar:

Anonymous said...

[tertunduk malu]
ternyata memang tdk semua dokter dan instansi kesehatan mengutamakan pelayanan..biarlah fakta bicara.. :(

Anonymous said...

*ikutan malu*
lalu kapan ya, insan medis benar-benar berorientasi kualitas pelayanan ?