September 8, 2008

Ketepatan Sampling

Suatu saat seorang manajer bertanya pada saya, "Saya mau menguji sensitivitas, spesifisitas dan efisiensi dari dua merek reagen, jika jumlah sampel adalah 30 sudah cukup bukan?".

Dari beberapa buku teori statistik saya tidak pernah menemukan asal muasal angka 30 yang menyatakan dapat dianggap sebagai jumlah sampel minimum. Lalu darimana asalnya, dan atas dasar apa sampling dilakukan ?

Pada dasarnya, sampel diperlukan saat mendapatkan data/ informasi dari populasi tidak mungkin dilakukan karena beberapa keterbatasan : waktu yang sangat lama, tenaga serta biaya yang cukup besar. Oleh karenanya, apabila suatu sistem memungkinkan pendataan pada populasi, maka sebaiknya pengolahan data dilakukan dengan data populasi atau yang diistilahkan dengan data mining.

Lalu atas dasar apa sampling dilakukan ?
Seringkali terjadi kekeliruan pada masalah ini, yaitu penentuan sampling (baik jumlah maupun ukuran sampel) yang didasarkan atas prakiraan besarnya populasi. Sebagai contoh, jika populasi penduduk di suatu wilayah 6 juta orang, maka sampel diambil 10% dari total populasi tersebut, yakni 600 orang. Benarkah demikian?

Ilustrasi mengenai sampel yang paling sederhana adalah mencicipi rasa segelas susu soda gembira. Pada saat menghidangkan minuman ini tentu pelayan resto akan memberikan anda gelas berisi susu dan sirop (tanpa air) dan 1 botol air soda. Untuk meminumnya, anda mesti menuangkan air soda tersebut ke dalam gelas. Setelah menuangkan air soda sampai isi gelas penuh dan tanpa mengaduk isi gelas tersebut, bagaimana rasa segelas susu soda gembira itu? Tentu anda akan merasakan rasa manis ketika mencicipi minuman tersebut dari dasar gelas dan akan berbeda ketika anda hanya mencicipi di permukaannya. Kenapa ada perbedaan rasa? Karena ada perbedaan sebaran susu dan sirop dalam segelas soda, bahasa statistiknya ada heterogenitas dalam segelas air soda tersebut. Heterogenitas dapat diartikan dengan variabilitas yang cukup besar.

Sangat berbeda ketika anda menuangkan air soda dalam gelas hingga penuh lalu mengaduknya hingga endapan susu dan sirop yang ada didasarnya bercampur merata di dalam gelas. Maka mencicipi di dasar gelas maupun di permukaan gelas akan sama. Mencicipi sebanyak satu sendok teh, satu sendok makan bahkan satu teguk pun akan sama rasanya. Berapa banyak yang anda cicipi tidak akan berbeda rasanya di lidah, karena susu dan sirop telah menyebar merata di dalam segelas air soda tersebut, dalam bahasa statistik kita biasa mengatakan bahwa kandungan susu, sirop dalam segelas air soda itu telah homogen.

Kembali pada masalah sampel. Mencicipi segelas susu soda gembira ibaratnya mengambil sampel. Bila kondisi sudah sangat homogen, berapa banyak sampel yang anda ambil tidak akan menjadi masalah. Namun apabila kondisi cukup heterogen, nampaknya jumlah, ukuran dan cara pengambilan sampel akan menjadi pertimbangan yang cukup penting.

Pada kenyataannya, untuk pengamatan langsung di lapangan (bukan eksperimen desain di laboratorium) akan sulit sekali mendapatkan kondisi yang heterogen. Selalu akan ada variansi. Dan karena itulah hal utama yang menjadi dasar pada penentuan jumlah, ukuran dan cara pengambilan sampel adalah variabilitas, bukannya jumlah populasi, apalagi dengan jumlah minimum 30.

Teknik sampling meliputi serangkaian aktifitas, yakni :
(1) menentukan jumlah sampel.
Dengan dasar variabilitas dari target apa yang akan kita ukur dan tingkat kesalahan yang kita perkirakan, maka jumlah sampel (n) dapat kita tentukan.

(2) menentukan ukuran sampel dan kerangka sampling
Saat mengetahui adanya variabilitas, maka perlu dicermati hal utama apa yang menyebabkan variabilitas tersebut. Apakah karena perbedaan kelompok, perbedaan strata, perbedaan lokasi. Informasi ini terus di-breakdown, hingga mendapatkan kondisi variabilitas terkecil. Atas dasar informasi ini, maka dipilihlah metode sampling sekaligus merancang kerangka sampling sehingga kita akan mendapatkan ukuran sampel yang sesuai untuk masing-masing perbedaan kondisi.

(3) proses pengambilan sampel
ini adalah langkah terakhir pada tahapan sampling namun cukup menentukan sukses tidaknya sampling yang dilakukan. Seberapa besar jumlah sampel dan seberapa rinci kerangka sampling yang telah dibuat, namun jika proses pengambilan sampelnya menyebabkan kesalahan yang cukup besar hingga tidak diperoleh sampling yang representatif maka segalanya akan sia-sia. Pada langkah (1) dan (2), seorang peneliti hanya mendesain proses mendapatkan sampel dari data sekunder yang ada. Sedangkan langkah ke (3) merupakan langkah real. Butuh kecermatan lebih untuk ini, untuk benar-benar melihat adanya heterogenitas pada sebuah kondisi atau dengan istilah statistik-nya : untuk membuat probabilitas seseorang menjadi sampel dengan ketentuan pada langkah 2 adalah sama.

Ketepatan sebuah analisis, terutama yang diperoleh dari data survey sangat bergantung pada ketepatan teknik sampling yang dilakukan. Teknik sampling tidak lebih sulit dari teknik analisa data, namun butuh kecermatan ekstra untuk mendapatkan sampel yang representatif.

Related Posts:

0 komentar: