July 18, 2008

Mengacak Metode Sampling

Ketika sudah masuk saat-saat kampanye persiapan pilkada atau pemilu, sejenak perhatian kita dibelokkan. Siapa yang menang ya ? Berapa banyak kemungkinan pendukung akan memilih ? Dan saatnya pula pembicaraan di kantor, warung kopi bahkan ibu-ibu arisan pun berubah menjadi pembicaraan menarik seputar pilkada.

Topik ini menjadi lebih menarik ketika pembicaraan disertai dengan pemberitaan berdasarkan data, setidaknya sejak diperkenalkannya survey dengan metode quick count pada saat pemilu beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, bukan hanya pemilu, quick count juga dipakai untuk mengetahui estimasi hasil pilkada-pun. Seperti trend saja rasanya.

Inti dari metode quick count adalah sampling. Bagaimana proses sampling dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh "estimasi" atau "perkiraan", siapa yang bakal menang (memiliki suara terbanyak) dalam pilkada/ pemilu. Untuk ini jelas, independensi harus terjaga dan responden mesti dipilih secara acak (setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk menjadi responden. Tidak ada kriteria lain untuk ini. Kenapa ? Agar tidak terjadi kecenderungan jawaban-jawaban tertentu yang direkayasa untuk kepentingan kelompok tertentu. Kata kuncinya adalah sampling acak. Namun apakah hal ini benar dilakukan dan sesuai dengan kaidah pengambilan sampel yang sesuai ? Advetorial yang dimuat di suarasurabaya.net berikut ini bisa menjadi kajian bagi kita : General Random Sampling, seperti apa itu ?

(klik disini untuk membaca penggunaan general random sampling)

Berdasarkan ulasan diatas, dinyatakan :

"........karena pemilih di Jatim cukup heterogen maka untuk memperoleh hasil coblosan yang akurat, pihaknya menggabungkan dua metode penghitungan cepat, yaitu stratified random sample (SRS) dan general random sample (GRS)."

Benarkah metode sampling ini ada ? Dan benarkah dilakukan hanya atas dasar heterogenitas. Dalam ilmu statistik heterogenitas diukur melalui variansi. Diyakini, sekecil apapun selalu ada variansi dalam sebuah kelompok yang tak dapat dikendalikan (contoh : persepsi terhadap parpol, sikap terhadap calon gubernur, dll). Lalu apakah solusinya adalah SRS. Jika SRS, berarti ada asumsi heterogenitas ini muncul pada strata yang berbeda. Lalu, strata apa yang dimaksud ? Berdasarkan apa mengelompokkan strata ? Bukankah lebih tepat adalah kelompok (cluster) ? Karena konsep pengambilan sampling antara stratifikasi random sampling (SRS) dan cluster random sampling sangatlah berbeda.

"Selain metode ini, tim “sapu jagad” juga menggunakan metode GRS, antara 3 %-5 % dari seluruh TPS di Jatim, yakni 62.765 buah. Kalau diambil 5 %, berarti 3.138 TPS yang disampling, ditambah 405 TPS dengan metofe SRS. Sehingga jumlah saksi ada 3.513 orang, yang menyebar ke seluruh Jatim. KarSa menggunakan dua metode quick count itu berbarengan."

Dari kalimat diatas dalam bayangan saya, proses sampling adalah seperti ini

Seperti apa yang dimaksud General Random Sampling itu ?
Ini sebuah metode sampling yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Apakah diciptakan sendiri ? Apakah termasuk probabilitas sampling atau non probabilitas sampling ?

Apakah layak mengambil sampel dengan membagi populasi terlebih dahulu lalu menerapkan dua metode sampling yang berbeda pada dua populasi ini dan selanjutnya menggabungkannya kembali dalam sebuah tabulasi data untuk dianalisis?

Sebagai statistisi, saya berani menyatakan tidak pernah ada istilah mengenai General Random Sampling dan jika pemberitaan di suarasurabaya.net tentang penggabungan metode sampling : General Random Sampling dan Stratified Random Sampling benar dilakukan dalam quick count tim KarSa, maka sayapun berani menyatakan bahwa metode ini tidak tepat. Bukan mengambil sampel secara acak, tapi yang saya istilahkan dengan "mengacak Sampling".

Lalu bagaimana cara melakukan sampling yang benar ?
- tentang macam metode sampling
- tentang penggunaan sampling

Related Posts:

2 komentar:

Anonymous said...

itulah pinter-pinternya para "APLIKAN" statistik, dan ada sedikit bau "BISNIS" atau dalam bhs lain statistik yg agak ngepop.
Seharusnya para statistisi dpt menjelaskan dengan lugas tetapi tepat sasaran.
Quick Count sbg contoh survei yg cukup baik: mempertemukan PARAMETER (hsl KPU) dengan beberapa STATISTIK
(hasil QC) yg menarik untuk kasus dalam menjelaskan distribusi sampling (selama ini barangkali hanya dijelaskan secara teori).
Tetapi ada statistisi yg menganggap hasil QC itu salah tanpa memberi solusi yg benar bgm.

suhandojo

Unknown said...

ya, para APLIKAN statistik di negeri ini tidak selalu adalah statistisi. Buku-buku yang beredar sejauh ini memang hanya teori semata, (kadang menjadi susah dimengerti).

Seharusnya memang ada solusi dari para statistisi, jika sekarang belum ada, berharap suatu saat akan ada. Mungkin saya, mungkin anda atau yang lainnya.