December 7, 2010

Fenomena Perbukuan saat ini, tak adakah lagi harga untuk sebuah kualitas?

Dua hari ini, setelah berkeliling di beberapa toko buku : Gramedia, Togamas, Uranus dan Rumah buku dan setelah sekian banyak membaca daftar buku tersaji di beberapa distributor, ada perasaan "trenyuh" dan prihatin".


Dengan membaca buku kita membentang cakrawala pengetahuan, dengan menulis kita berbagi ilmu... buku adalah cendela untuk lebih berkarya, bagi penulisnya dan bagi pembacanya.


Namun, fenomena apa yang terjadi dengan "perbukuan" di tanah air tercinta kita?
Kini kian banyak buku beredar (dengan topik yang mirip-mirip sama). Dengan topik yang kurang lebih sama itu, tidak ada yang lebih melengkapi, bahkan ada tata bahasa dan sajian yang "sama", rasanya miris sekali... pembaca awam yang ingin belajar tentang materi didalamnya, seakan tertipu... hanya membeli tumpukan kertas tanpa makna cukup yg bisa diserap.


Kinipun kian banyak penerbit, namun begitu banyak buku diterbitkan tanpa "pengarang"... aneh, tapi nyata. Buku inipun ber-ISBN, dan setelah sedikit browsing, ternyata sebagian hanya menyalin atau menterjemahkan isi buku lainnya. Beberapa penerbit pun seakan tak cukup mengapresiasi karya tulis, terbukti dengan diobral hancurnya harga buku, sampai saya menemukan buku berharga Rp.5.000,- dan bahkan Rp. 2.000,- dengan isi yang lumayan berbobot.


Apresiasi atas pemikiran berharga tampaknya tak ada lagi, semuanya hanya dihargai sebagai kertas... "buku tipis segini aja harganya mahal banget sih?, fotocopy saja gak akan sampe Rp.2.000,- deh ".
Hmm, kalimat ini pernah terdengar di telinga saya dari sekelompok mahasiswa, ketika sedang berjalan-jalan di Gramedia. Panas juga telinga ini, mungkin karena saya juga seorang penulis, mungkin karena saya juga terlibat di penerbitan buku,.. tapi coba perhatikan kalimat ini :

Quote dari Mario Teguh (yang saya ketahui dari seorang rekan penulis : Rezi Arlansyah Soripada)
Jika saya berkualitas tinggi,dibayar rendah oleh orang yang TIDAK mampu,dan saya terima dengan ikhlas;itu namanya berharap kepada Tuhan.
Jika saya berkualitas tinggi,menerima bayaran rendah dari orang yang mampu membayar,itu berarti saya tidak menghargai diri saya.
Saya harus meng-HARGA-i diri saya sebagai anugerah dari Tuhan.
Saya tidak bekerja untuk bayaran.
Saya bekerja untuk harga diri saya


Sebagai pembaca buku, apakah perbuatan yang pantas, bila menganggap harga buku layaknya harga kertas bekas? Apakah tak ada apresiasi apapun yang pantas anda berikan bagi penulis buku yang telah berbagi pengetahuan pada anda?


Jika mengharapkan kondisi ideal dari fenomena ini, "seharusnya" Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) segera bertindak. Masih banyak penulis yang kreatif dan benar-benar mencurahkan ilmunya untuk berbagi dalam tulisan. Namun, saya pun saat ini bukan siapa-siapa dalam IKAPI maupun PNRI. Setidaknya, melalui tulisan ini saya mengajak anda para penulis, untuk tidak menyerah dalam tulisan kreatif dengan gaya masing-masing dan tak menyerah dengan "harga" yang diberikan penerbit maupun pembaca untuk anda. Semoga, tulisan singkat ini, pun bukan tulisan sampah untuk pembacanya dan menginspirasi kita semua.

0 komentar: