July 24, 2008

Mencuri Kesan Lewat Iklan Layanan Masyarakat

Produk rokok dan kesehatan seperti obat-obatan, rumah sakit, medical centre, laboratorium klinik konon memiliki keterbatasan dalam beriklan dibandingkan produk lainnya di Indonesia. Namun, beriklan adalah langkah yang cukup efisien jika ingin dikenal oleh konsumen.

Iklan Layanan Masyarakat, ya... akhirnya inilah salah satu cara yang ditempuh oleh perusahaan farmasi, rumah sakit, medical centre dan laboratorium untuk tetap beriklan. Dengan menggandeng instansi tertentu, seperti : dinas kesehatan, dinas pendidikan, dinas sosial, serta dengan dalih "penyuluhan pada masyarakat", iklan layanan masyarakatlah yang dipilih.

Namun, dengan berjalannya waktu nampaknya bukan hanya produk-produk tertentu ini yang beriklan melalui iklan layanan masyarakat. Ada juga produk perumahan, detergen, dan bahkan elektronik yang melakukan hal ini. Pergeseran mulai terjadi. Jika dulu iklan layanan masyarakat dipilih karena keterpaksaan, karena adanya batasan-batasan dalam beriklan, namun kini iklan layanan masyarakat dipilih untuk mencuri kesan.

Kesan apa ? Ya, kesan kepedulian dan kesan bahwa produk yang anda gunakan adalah produk yang memiliki standar "keamanan" tertentu. Coba anda renungkan, apabila di sebuah halaman kesehatan surat kabar dimana di halaman itu tertera tips-tips menjaga kesehatan keluarga dan diatas/ dibawah kolom tips itu tercantum logo sebuah merek medical centre, bukankah seakan-akan merek ini telah diakui sebagai merek yang direkomendasikan apabila keluarga anda membutuhkan pemeriksaan kesehatan? Bagaimana dengan rubrik kesehatan kulit yang diasuh di sebuah televisi dan tiba-tiba ada seorang dokter dari klinik kecantikan diperkenalkan masuk sebagai narasumber sekaligus konsultan, apakah bukan seakan-akan klinik kecantikan ini direkomendasikan sebagai klinik kecantikan yang representatif untuk perawatan kecantikan dan kesehatan kulit? Demikian juga saat iklan layanan masyarakat tentang pentingnya ASI disponsori oleh sebuah merek susu ibu hamil dan saat iklan layanan masyarakat tentang wabah demam berdarah disponsori olej sebuah merek obat nyamuk.

Semua berlomba-lomba mencuri kesan positif, dengan menggandeng instansi yang berkuasa dan cukup dipercaya legalitasnya. Setidaknya gejala-gejala seperti ini mulai tampak saat kata-kata bujuk rayu dan drama iklan tak mempan lagi sebagai upaya "mengajak" untuk membeli sebuah merek produk.

Tak berhenti melalui iklan layanan masyarakat, upaya berpromosi ini juga berlanjut pada aktifitas-aktifitas "sosial" dengan dalih CSR.

Dampak dari aktifitas ini memang tak langsung dapat dinikmati. Karena, dengan cara-cara ini sebenarnya produsen kembali gunakan trik "edukasi" konsumen. Siapa yang mampu meng-edukasi dengan baik dan menangkan kesan positif di benak konsumen lah yang akan dipilih.

Kenapa demikian ? Maraknya persaingan produk saat ini bukan hanya pada varian, namun juga pada kualitas. Jika dulu sebuah merek dapat meng-klaim bahwa produknya adalah yang paling berkualitas karena parameter tertentu, sekarang parameter kualitas tersebut juga dimiliki oleh merek lainnya dan menunjukkan kualitas terbaik kini tak lagi mudah, apalagi saat mengkomunikasikan pada konsumen. Kualitas adalah yang dipercaya, yang direkomendasikan dan yang dirasakan. Ini yang menjadi kata kunci memilih lembaga, mendesain iklan layanan masyarakat dan mengemas aktifitas marketing serta CSR agar menjadi satu kesatuan upaya menangkan hati konsumen.

3 komentar:

Anonymous said...

Lucunya, pembatasan iklan rokok, malah membuat iklan-iklan rokok semakin kreatif dan menarik dibandingkan produk lainnya. Silahkan diamati, adakah iklan rokok yang tidak menarik?

Unknown said...

Ada benarnya. Kadang pembatasan memicu kreatifitas. Pertanyaannya menjadi, "Kenapa hanya pada iklan produk rokok saja ya?" dan "Bagaimana ide kreatif itu dimunculkan?"

Fajar Ramadhitya P said...

Sebenarnya bukan Cuma iklan rokok. Iklan obat pun terbilang kreatif menyiasati peraturan tapi tetap mampu mencapai apa yang diinginkan.