May 30, 2008

Tipu Daku, Kau Kutinggalkan

Nampak seperti kebalikan judul film tahun 80an, "Kejarlah Daku Kau Kutangkap". Namun artikel ini sebenarnya tidak membahas tentang film di jaman itu. Namun aksi tipu-tipu marketing sebuah perusahaan telekomunikasi di Indonesia dan mungkin juga pada produk selain telekomunikasi.


Kita semua tahu, saat ini provider telekomunikasi, begitu gencarnya beriklan, banting harga dengan tarif yang kadang-kadang tidak masuk akal, bagaimana pula menghitung 0,000000.....dst. Tidak berbicara rasional, namun lebih pada emosional dan memaksa untuk mengesankan bahwa produknya murah bangets deh, sakti lagi.

Memang akhirnya banyak konsumen "coba-coba" merasakan murahnya dan saktinya produk ini. Termasuk saya, walaupun sebenarnya ketertarikan untuk mencoba bukan karena kebutuhan ngobrol atau sms, melainkan komunikasi data, karena sebelum maraknya promosi semacam ini, produk yang saya coba cukup baik dalam kualitas stabilitas komunikasi data.

Namun yang terjadi dan saya rasakan saat 1 minggu mencoba produk ini adalah yang terungkap pada judul diatas. Dan saya berfikir, apakah ini strategi baru yang didapatkan dari sebuah survey? Benarkah ini strategi pemasaran yang jitu atau malah berujung pada malapetaka ditinggalkan konsumen?

Mari sedikit berbicara tentang kepuasan pelanggan (setidaknya ini adalah salah satu alasan seseorang menjadi pelanggan untuk produk tertentu). Kepuasan bagi pelanggan berawal dari adanya kecocokan antara harapan pelanggan dan persepsi setelah pelanggan mengkonsumsi sebuah produk. Harapan pelanggan sendiri muncul dari sederetan informasi; bisa langsung dari pemilik produk (melalui beberapa saluran marketing communication yang diciptakan perusahaan), bisa pula dari kerabat yang telah mengkonsumsi produk (buzz marketing dari pelanggan produk) atau dari pengalaman penggunaan merek lain untuk produk sejenis.
Diantara tiga informasi yang mendasari munculnya harapan/ ekspektasi pelanggan, yang paling mendasari adalah informasi langsung dari pemilik produk. Isi pada iklan, brosur atau apapun yang menjadi sarana komunikasi produk dianggap oleh pelanggan sebagai spesifikasi produk, utilitas produk dan value yang diperoleh dari mengkonsumsi produk tersebut. Dalam benak calon pelanggan, informasi-informasi yang tertangkap ini sudah langsung dicatat sebagai sebuah janji. Tentunya dengan harapan, janji akan dipenuhi. Kesenjangan antara harapan dan persepsi terhadap sebuah produk (setelah konsumen mencoba/ mengkonsumsi produk) lah yang merupakan indikator kepuasan pelanggan. Semakin sempit gap ini, maka tingkat kepuasan pelanggan semakin baik. Jadi kuncinya adalah kesesuaian antara marketing communication dan kenyataan yang ada.

Kembali pada permasalahan sebelumnya, provider telekomunikasi saat ini merupakan kategori perusahaan yang paling gencar beriklan (dibandingkan produk lain). Dan iklan merupakan salah satu cara mengkomunikasikan produk pada pelanggan/ calon pelanggan. Untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya pelanggan, kita semua tahu bahwa yang dilakukan adalah banting harga (sms/ telepon). Sedikit sekali yang mencoba menarik pelanggan melalui fitur/ added value.

Harga memang sesuatu atribut yang sensitif. Namun sangat terukur. Namun beberapa provider telekomunikasi berusaha menyampaiakn murahnya harga dengan tidak terukur (0,0000...). Bagaimana mungkin? Mencoba mengalihkan rasionalisme konsumen?
Mungkin ini trik pemasaran baru. Dan ternyata, karena tarif yang tak terukur ini memang menarik perhatian calon konsumen, karena bahkan setelah mencoba kartu simcard barunya, konsumen tidak bisa menghitung dan menstandarisasi berapa pulsa yang harus dikeluarkan untuk menelpon selama 15 menit, atau berapa pulsa yang akan dikeluarkan selama satu bulan. Bisa jadi, saking saktinya sebuah produk, setelah menelpon pulsa tidak habis namun bertambah. Dan persepsi sakti ini ditangkap oleh konsumen sebagai sesuatu yang benar, karena itulah yang dijanjikan dalam iklan produk tersebut. Persepsi terhadap kata "sakti", khususnya di jawa adalah serba bisa tanpa adanya rasionalisasi. Apa yang terjadi kemudian? Strategi ini memang mampu menarik calon-calon pelanggan untuk menjadi pelanggan produk yang "sakti" itu. Konsumen hanya memperhatikan ke"saktian" produk pada 1 - 2 minggu pertama setelah mencoba produk baru. Setelah itu, tidak lagi akan peduli pada kondisi pulsanya (apalagi yang membeli minimal 100.000). Pemilik produk/ merek akan memetik keuntungan, karena konsumen ini pasti ditanya oleh lingkungannya, "kenapa berganti merek", dan pasti yang keluar adalah pujian terhadap produk.

Namun tidak semua konsumen bisa terbuai dengan kondisi ini, dan ketika janji tidak lagi sesuai dengan kenyataan menurut konsumen, apa yang terjadi? Tiba-tiba pulsa bertambah sampai 2X lipat dan tiba-tiba pulsa habis (padahal baru beberapa jam mengisi pulsa dan hanya menggunakan untuk menelpon selama 2 menit. "Pulsa Siluman", mungkin itu yang tercetus di benak konsumen. Semua konsumen tentu suka jika tiba-tiba pulsanya ditambah (dengan asumsi ini adalah reward, setelah adanya transaksi), tapi siapa yang suka jika tiba-tiba pulsa habis? Konsumen akan berfikir bahwa ini adalah aksi tipu-tipu, dan tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah menelpon customer service untuk mengadu, komplain melalui media radio/ koran dan meninggalkan produk tersebut. Dan jika yang ketiga ini terjadi, yang keluar bukan lagi pujian untuk pemilik produk/ merek melainkan hujatan.

"Tipu Daku (konsumen), Kau (Merek Produk) Kutinggalkan". Probabilitas untuk kondisi ini sangat besar. Bicara marketing, sekedar meningkatkan penjualan, meningkatkan jumlah pelanggan sesaat adalah sesuatu yang mudah. Namun lebih mudah untuk membuat penjualan serta pelanggan menurun jika tak mampu menangkap needs, mengkomunikasikan produk dan menipu pelanggan.

0 komentar: