
Di beberapa pemukiman, saya jumpai diadakan pemeriksaan laboratorium kolektif (bekerjasama dengan RT setempat), harga pemeriksaan laboratorium sangat terjangkau; misal untuk pemeriksaan kolesterol atau asam urat seharga Rp.10.000 - Rp.15.000,-. Di kota saya, jelas-jelas beberapa laboratorium dan rumah sakit mengadakan diskon/ keringanan biaya pemeriksaan. Secara bergantian, spanduk dan iklan di media, bahkan terkesan "lucu" bagi saya, mendengar dalam jangka waktu kurang dari 5 menit seorang penyiar radio bisa membacakan adlibs "promo" diskon harga pemeriksaan di sebuah laboratorium, dan di sebuah Rumah Sakit.
Lepas dari aktivitas promosi yang dilakukan para penyedia jasa kesehatan, sekarang saya melihat dari sisi pengguna jasa laboratorium ; yakni pasien dan dokter. Beberapa kali saya berkunjung ke penyedia jasa pemeriksaan laboratorium, yang mereka jelaskan adalah kualitas pemeriksaan. Sebagian besar laboratorium mengklaim, bahwa mereka telah menjalankan quality control pada setiap proses pemeriksaan, seperti adanya kalibrasi dan maintenance alat berkala, cek kualitas reagen, cek kondisi alat, cek suhu ruangan operasional dan tak lupa pemilihan reagen yang menurut mereka lebih baik dari yang lain (entah dari sisi sensitivitas atau spesifisitas).
Berbicara mengenai quality control, sensitivitas maupun spesifisitas, sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa kita sedang memakai statistik. Bagaimana menjamin kualitas atau dengan kata lain melakukan aktifitas quality control jika tidak ada tolok ukur, batas toleransi, kapabilitas proses dan pergeseran proses. Berkaitan dengan hal ini, dan kembali pada proses quality control dalam pemeriksaan laboratorium, secara logika : setiap reagen memiliki nilai normal dan standar deviasi tertentu, demikian juga dengan alat pemeriksaan. Pada saat seorang pasien melakukan pemeriksaan di dua laboratorium yang berbeda pada hari yang sama dan ternyata hasil pemeriksaannya berbeda, yang dikatakan oleh petugas laboratorium selalu sama : "reagen yang kami gunakan berbeda dengan laboratorium lain". Bagaimana jika pasien tidak bertanya, dan hasil pemeriksaan laboratorium dipakai oleh dokter untuk mendiagnosa kondisi kesehatan pasien ?
Setiap lembaga yang melakukan pemeriksaan laboratorium berbicara mengenai kualitas pemeriksaan, bagi saya selaku pasien yang mengeluarkan biaya pemeriksaan, saya harus mendapatkan apa yang saya beli (bukan hanya angka). Sementara itu, pasien juga tidak bisa melihat standar pemeriksaan dari masing-masing laboratorium (dengan alasan : berbeda reagen/ berbeda alat sehingga angka 120 untuk pemeriksaan glukosa di Laboratorium A bisa jadi tidak akan sama dengan angka 120 untuk pemeriksaan glukosa di laboratorium B, lalu bagaiamana dokter dapat mendiagnosa dengan lebih tepat? Padahal hampir tidak ada laboratorium yang mencantumkan parameter-parameter yang menjamin kualitas hasil pemeriksaan (terutama saat didapatkan nilai uji reagen/ alat yang sedikit berbeda ; misal adanya out of control karena variasi alamiah, adanya pergeseran proses karena usia pemakaian alat mencapai batas atas). Dan sangat dapat dimaklumi, seorang dokter tidak akan hapal satu persatu nilai sensitivitas / spesifisitas alat dan reagen tertentu. Lalu bagaimana dengan keputusan yang diberikan untuk pasien. Sehat ? Sakit ? Perlu terapi ? Atau bagaimana ? Kalau sudah begini, sejauh mana pemeriksaan laboratorium diperlukan pasien ? Dan akankan Indonesia Sehat 2010 terwujud ?
4 komentar:
halo....
sebagai salah seorang praktisi kesehatan, saya bisa kasih saran. yang penting tentu pemilihan sarana kesehatan yang berkualitas dalam arti sebenarnya, bukan hanya gedung mentereng, seragam karyawan yang modis dan indah. tetapi memiliki peralatan yang memadai dan selalu dikalibrasi berkala, ada laporan crosscheck dengan fasilitas lain yang lebih besar dan terpercaya.
misalnya alat2 kesehatan dan laboratoriumnya: tercantum hasil kalibrasi terbaru dan crosscheck dengan error rate minimal
apotik: mencantumkan hasil analisa kadar obat-obatan yang terpenting dalam 2-3 tahun terakhir.
memang merepotkan, dan tidak semua dapat dilakukan semua orang. namanya juga indonesia, harus teliti sebelum membeli kalau nggak mau rugi......
masalahnya, boleh ga pasien (konsumen) ditunjukkan tentang proses quality control mereka ? (Ada yang ga terbuka lho... walaupun katanya sudah berkualitas).
hayo..supervisornya siapa ya..
jika meragukan, kebutuhan yg mendesak dan tdk sesuai klinis, kadang cek labnya diulang di lab yg memiliki 'riwayat kualitas' lbh baik..
jika perlu, diskusikan dgn dokter supervisor lab-nya :D
wadhuh.... kalau ngomong "riwayat kualitas" lbh baik.... harus ISO ya :)
Post a Comment