Pemeriksaan kesehatan, General Check Up dan pemeriksaan laboratorium sebenarnya saat ini bukanlah suatu hal yang langka. Di Surabaya, misalnya telah menjamur lebih dari seratus laboratorium dan klinik, puluhan rumah sakit/ puskesmas dan health care yang menyediakan jasa pemeriksaan kesehatan (khususnya pemeriksaan laboratorium). Dari beberapa pengamatan, kurang lebih satu lembaga layanan pemeriksaan laboratorium itu mampu menangani 50 hingga 400 pasien per hari (bahkan bisa lebih dari itu). Tinggal kalikan saja dengan jumlah penyedia layanan pemeriksaan laboratorium yang ada, minimal ada 5000 pasien perhari, 125.000 pasien per bulan dan bisa jadi 90% diantaranya adalah orang yang berbeda satu dengan lain (dengan asumsi normal bahwa frekuensi pemeriksaan ulang pada umumnya adalah 3 bulan sekali hingga 1 tahun sekali).
Jika untuk sekali pemeriksaan, pada umumnya dibutuhkan biaya Rp. 100.000,- hingga Rp. 200.000,- lalu anda bisa hitung berapa pendapatan minimal sebuah penyedia layanan pemeriksaan laboratorium dalam sebulan. Mungkinkah ini bisnis yang menggiurkan ?
Berdasarkan pengamatan lapangan yang saya lakukan, tampak adanya agresifitas dari para marketer penyedia layanan pemeriksaan laboratorium ini untuk meraih konsumen (pasien) sebanyak-banyaknya. Tentunya ada yang santun namun tidak sedikit juga yang terkesan ”ngawur” dan kurang etis, seperti : obral diskon, komisi (pada umumnya ke dokter / rumah sakit perujuk agar pasien diperiksakan ke lembaga tertentu). Satu hal yang terpikir oleh saya (mengkait pada kasus yang saya ungkap pada paragraf 1 diatas), bagaimana dengan kualitas pemeriksaannya ?
Jika diskon sedemikian sering dilakukan, bukankah laba perusahaan akan berkurang ? Karena kalau tidak salah pemeriksaan laboratorium membutuhkan cukup banyak ”bahan produksi” (seperti : jarum suntik, reagen, sarung tangan, tabung reaksi) dan tidak mungkin didaur ulang/ digunakan bersama seperti pada saat sebuah pabrik memproduksi sebuah barang sehingga menurut pengamatan saya variable cost jauh lebih tinggi daripasa fix cost. Jadi, hanya ada dua kemungkinan : diskon hanya kamuflase dari harga yang terlampau tinggi ditetapkan dengan tujuan untuk melipatgandakan laba (terutama pada saat tidak ada diskon) atau, kemungkinan kedua adalah adanya pengurangan biaya. Dan yang paling menakutkan adalah jika pengurangan biaya dilakukan pada variable cost dan mempengaruhi kualitas hasil pemeriksaan dan layanan pasca pemeriksaan.
Pasien (dalam pengertian saya) adalah orang yang awam dan selayaknya mendapat informasi yang jelas pada saat dia melakukan pemeriksaan laboratorium. Seseorang yang ingin mengetahui kondisi kesehatannya (dengan latar belakang apapun) dan menginginkan adanya Total Solution. Yang penting adalah ”what next ?”, apa yang selanjutnya dan seharusnya dilakukan jika hasil pemeriksaan tersebut normal atau bahkan abnormal.
Berbicara dalam hal kualitas layanan pasca pemeriksaan, memang banyak lembaga penyedia layanan pemeriksaan laboratorium, namun masing-masing diantaranya tidak menjangkau semua pemeriksaan, misalnya ada yang tidak dapat melakukan pemeriksaan petanda tumor, ada yang tidak dilengkapi dengan pemeriksaan ECG,dan lain sebagainya (dan itu sebenarnya dapat dimaklumi oleh pasien). Namun, untuk kasus penyakit tertentu bukankah kadang seorang pasien mebutuhkan beberapa pemeriksaan yang tidak dapat dipenuhi oleh satu rumah sakit ataupun satu laboratorium klinik. Alangkah lebih baik jika ada sinergi antara penyedia layanan pemeriksaan laboratorium tersebut, apalagi jika bisa disinergikan dengan dokter ahli, ahli gizi, dan apotik sehingga pasien tidak perlu kebingungan dalam menyikapi hasil pemeriksaannya. Faktanya 50% dari kelompok orang yang enggan melakukan pemeriksaan laboratorium menyatakan alasan keenganannya karena khawatir hasil pemeriksaan tersebut mengganggu secara psikis karena tidak menemukan solusi apa yang seharusnya dilakukan ketika ada hasil yang abnormal.
Berbicara dalam hal kualitas hasil, angka yang tertera pada lembar hasil pemeriksaan laboratorium sering membingungkan bagi orang yang awam. Jika pemeriksaan laboratorium dilakukan di dua tempat yang berbeda, bisa jadi angkanya beda dan bisa jadi (dalam statistik), skalanya beda dan tidak dapat diperbandingkan. Kenapa hal ini terjadi ? Mungkin karena perbedaan alat, perbedaan reagen (sensitivitas atau spesifisitasnya) dan perbedaan proses quality control. Seharusnya, pemilihan alat, reagen maupun cara melakukan quality control menjadi hal utama yang dipertimbangkan oleh penyedia layanan laboratorium. Namun jika harus menekan biaya serendah mungkin dengan memilih alat, reagen maupun proses quality control yang minimal karena adanya diskon maupun komisi, bagaimana tanggung jawab mereka terhadap sebuah angka di lembar hasil pemeriksaan ? Apakah akan diperoleh hasil yang valid dan reliable ? Bagaimana dengan nasib kesehatan pasien ?
0 komentar:
Post a Comment